Kebakaran Lahan Sawit Tingkatkan Kasus ISPA, Ahli Ingatkan Pentingnya Pengendalian Lingkungan Berbasis Kesehatan
Bandar Lampung, 2025 – Kebakaran lahan perkebunan sawit kembali menjadi sorotan serius di berbagai wilayah Indonesia. Selain merusak ekosistem dan mencemari udara, kebakaran lahan terbukti berdampak langsung pada kesehatan masyarakat. Salah satu dampak paling nyata adalah meningkatnya kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), terutama di kawasan sekitar perkebunan dan wilayah yang terdampak kabut asap.
![]() |
| Kebakaran Lahan Sawit Tingkatkan Kasus ISPA, Ahli Ingatkan Pentingnya Pengendalian Lingkungan Berbasis Kesehatan |
Peningkatan kasus ISPA ini kembali menguatkan kekhawatiran para ahli kesehatan lingkungan bahwa praktik pembukaan lahan dengan cara membakar masih menjadi ancaman laten bagi kesehatan publik. Paparan asap kebakaran lahan mengandung berbagai polutan berbahaya yang dapat mengganggu sistem pernapasan manusia, khususnya pada kelompok rentan seperti balita, lansia, ibu hamil, serta penderita penyakit kronis.
Penulis dan pemerhati kesehatan lingkungan, Rudi M. Irawan, mahasiswa Program Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Lampung, menilai bahwa persoalan kebakaran lahan sawit tidak dapat lagi dipandang semata sebagai isu lingkungan atau ekonomi. Menurutnya, kebakaran lahan merupakan persoalan kesehatan masyarakat yang memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang.
ISPA dan Hubungannya dengan Kabut Asap
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah kelompok penyakit yang menyerang saluran pernapasan, mulai dari hidung hingga paru-paru. Penyakit ini dapat disebabkan oleh virus, bakteri, maupun iritasi akibat paparan polutan udara. Dalam konteks kebakaran lahan, ISPA sering dipicu oleh partikel asap berukuran sangat kecil yang mudah terhirup dan masuk jauh ke dalam paru-paru.
Menurut survei yang dipublikasikan dalam Journal of Environmental and Public Health (2022), asap kebakaran lahan mengandung partikel polutan berbahaya seperti particulate matter PM2.5, karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), serta senyawa organik volatil. Paparan jangka pendek maupun jangka panjang terhadap zat-zat ini terbukti meningkatkan risiko gangguan pernapasan, penurunan fungsi paru, hingga kematian dini.
PM2.5, yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikrometer, sangat berbahaya karena mampu menembus sistem pertahanan saluran napas dan masuk ke alveoli paru-paru. Partikel ini juga dapat masuk ke aliran darah dan memicu peradangan sistemik.
Dampak Kesehatan yang Lebih Luas
Rudi M. Irawan menegaskan bahwa dampak kesehatan akibat kebakaran lahan sawit tidak hanya terbatas pada ISPA. Asap pembakaran lahan membawa berbagai risiko kesehatan lain yang sering kali luput dari perhatian.
“Asap pembakaran lahan sawit membawa partikel halus dan gas berbahaya yang dapat terhirup oleh masyarakat. Selain ISPA, risiko penyakit kulit, diare, dan penyakit tular vektor juga meningkat akibat terganggunya sanitasi lingkungan,” ujar Rudi.
Dalam kondisi kabut asap tebal, aktivitas masyarakat terganggu. Sumber air bersih dapat terkontaminasi oleh abu dan residu pembakaran. Sanitasi lingkungan menurun, sehingga meningkatkan risiko penyakit berbasis lingkungan seperti diare dan penyakit kulit.
Selain itu, kebakaran lahan juga memengaruhi ekosistem sekitar. Kerusakan habitat dapat memicu perpindahan vektor penyakit, seperti nyamuk dan tikus, ke permukiman manusia. Kondisi ini berpotensi meningkatkan risiko penyakit tular vektor, termasuk demam berdarah dan leptospirosis.
Kelompok Rentan Paling Terdampak
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa dampak kabut asap paling berat dirasakan oleh kelompok rentan. Balita dan anak-anak memiliki sistem pernapasan yang masih berkembang, sehingga lebih mudah mengalami gangguan akibat polusi udara. Paparan asap dalam jangka waktu tertentu dapat menghambat perkembangan paru-paru dan meningkatkan risiko penyakit pernapasan kronis di kemudian hari.
Lansia juga menjadi kelompok berisiko tinggi karena umumnya memiliki fungsi paru yang menurun serta penyakit penyerta seperti hipertensi dan penyakit jantung. Pada ibu hamil, paparan polusi udara berpotensi meningkatkan risiko kelahiran prematur dan berat badan lahir rendah.
Tenaga kesehatan di wilayah terdampak sering melaporkan lonjakan kunjungan pasien dengan keluhan batuk, sesak napas, iritasi mata, dan sakit tenggorokan saat kabut asap melanda.
Perubahan Iklim dan Meningkatnya Risiko Kebakaran
Perubahan iklim global disebut sebagai salah satu faktor utama yang memperparah risiko kebakaran lahan. Periode kemarau yang lebih panjang, peningkatan suhu udara, serta penurunan kelembapan tanah menciptakan kondisi yang sangat mudah terbakar, terutama di wilayah perkebunan sawit.
Rudi menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, pola iklim semakin sulit diprediksi. Musim kemarau yang ekstrem membuat lahan gambut dan tanah organik mengering, sehingga api dapat menyebar dengan cepat dan sulit dipadamkan.
“Kondisi iklim yang berubah memperbesar potensi kebakaran. Jika praktik pembukaan lahan dengan cara membakar masih terjadi, maka risiko kabut asap akan terus berulang,” katanya.
Dampak Regional dan Global Kabut Asap
Kabut asap akibat kebakaran lahan di Indonesia tidak hanya berdampak lokal, tetapi juga regional. Sejumlah negara di Asia Tenggara kerap terdampak asap lintas batas yang berasal dari kebakaran lahan di kawasan Sumatra dan Kalimantan.
Laporan The Lancet Countdown on Health and Climate Change (2021) menegaskan bahwa pencemaran udara akibat kebakaran lahan berkontribusi terhadap peningkatan kasus penyakit pernapasan dan kematian dini di kawasan Asia Tenggara. Organisasi kesehatan dunia juga menyebut polusi udara sebagai salah satu faktor risiko kesehatan terbesar di dunia.
Dampak ekonomi dari krisis kesehatan akibat kabut asap pun tidak kecil. Produktivitas menurun, biaya pengobatan meningkat, dan sistem layanan kesehatan mengalami tekanan besar.
Pentingnya Pengendalian Lingkungan dan Penegakan Hukum
Rudi menilai bahwa upaya pengendalian dampak kesehatan akibat kebakaran lahan sawit harus dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan. Salah satu langkah paling mendasar adalah penegakan hukum terhadap praktik pembakaran lahan.
Meski regulasi terkait larangan pembakaran lahan telah ada, implementasi di lapangan dinilai masih lemah. Penegakan hukum yang tidak konsisten membuka peluang terjadinya kebakaran berulang setiap musim kemarau.
“Tanpa penegakan hukum yang tegas, upaya pencegahan akan selalu kalah oleh kepentingan ekonomi jangka pendek,” tegas Rudi.
Pemantauan Kualitas Udara dan Surveilans Kesehatan
Pemantauan kualitas udara secara berkelanjutan menjadi langkah penting dalam melindungi kesehatan masyarakat. Data kualitas udara yang akurat dan real-time dapat menjadi dasar pengambilan kebijakan, termasuk penetapan status darurat dan pembatasan aktivitas luar ruangan.
Selain itu, penguatan surveilans penyakit berbasis lingkungan sangat diperlukan untuk mendeteksi lonjakan kasus ISPA dan penyakit lain secara dini. Dengan sistem surveilans yang kuat, intervensi kesehatan dapat dilakukan sebelum situasi berkembang menjadi krisis.
Edukasi Masyarakat dan PHBS
Peningkatan edukasi masyarakat tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) menjadi salah satu rekomendasi utama dalam kajian ini. Masyarakat perlu dibekali pengetahuan tentang cara melindungi diri dari paparan asap, seperti penggunaan masker yang tepat, menjaga kebersihan lingkungan, serta memastikan kecukupan asupan cairan dan gizi.
Dalam situasi kabut asap, penyediaan sarana hygiene dan sanitasi darurat juga sangat penting untuk mencegah penyakit berbasis lingkungan lainnya.
Rekomendasi Strategis Pengendalian Dampak Kesehatan
Rudi M. Irawan merumuskan sejumlah rekomendasi strategis untuk menekan dampak kesehatan akibat kebakaran lahan sawit, antara lain:
- Penegakan hukum tegas terhadap praktik pembakaran lahan.
- Pemantauan kualitas udara secara berkelanjutan dan transparan.
- Penyediaan sarana hygiene dan sanitasi darurat di wilayah terdampak.
- Peningkatan edukasi masyarakat tentang PHBS dan perlindungan diri.
- Penguatan surveilans penyakit berbasis lingkungan.
Menuju Pengelolaan Lahan Sawit Berkelanjutan
Selain upaya penanganan dampak kesehatan, Rudi menekankan pentingnya transisi menuju pengelolaan lahan sawit yang lebih berkelanjutan. Praktik tanpa bakar (zero burning) harus menjadi standar dalam pengelolaan perkebunan.
Sinergi antara pemerintah, sektor perkebunan, tenaga kesehatan, akademisi, dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan. Tanpa kolaborasi lintas sektor, persoalan kebakaran lahan dan dampaknya terhadap kesehatan akan terus berulang.
Penutup: Kebakaran Lahan sebagai Ancaman Kesehatan Publik
Rudi berharap kasus kabut asap yang berulang dapat menjadi momen refleksi bersama untuk memperbaiki tata kelola lingkungan berbasis kesehatan masyarakat. Menurutnya, kebakaran lahan sawit bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi ancaman nyata bagi kesehatan publik.
“Kebakaran lahan sawit bukan hanya isu lingkungan, tetapi ancaman kesehatan publik yang nyata. Penyelesaiannya membutuhkan komitmen kolektif lintas sektor,” tutup Rudi.

Post a Comment for "Kebakaran Lahan Sawit Tingkatkan Kasus ISPA, Ahli Ingatkan Pentingnya Pengendalian Lingkungan Berbasis Kesehatan"