Dampak Curah Hujan Tinggi dan Banjir Picu Lonjakan Kasus Diare
Bandar Lampung, 2025 – Intensitas curah hujan tinggi yang disertai banjir berulang di wilayah perkotaan pesisir kembali menimbulkan persoalan serius bagi kesehatan masyarakat. Perkotaan, sebagai pusat aktivitas ekonomi dan permukiman padat di berbagai Provinsi , kini menghadapi ancaman meningkatnya penyakit berbasis lingkungan, khususnya diare. Kondisi ini menjadi sorotan dalam kajian kesehatan lingkungan yang dilakukan oleh Mega, mahasiswa Program Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Lampung.
![]() |
| Dampak Curah Hujan Tinggi dan Banjir Picu Lonjakan Kasus Diare di perkotaan |
Kajian tersebut menegaskan bahwa banjir bukan hanya persoalan infrastruktur dan ekonomi, tetapi juga berdampak langsung terhadap kualitas hidup dan kesehatan warga. Salah satu dampak paling nyata adalah meningkatnya risiko kontaminasi air bersih akibat rusaknya fasilitas sanitasi, meluapnya limbah domestik, serta terganggunya sistem drainase lingkungan.
Banjir Perkotaan dan Kerentanan Kesehatan Lingkungan
Perkotaan pesisir dengan topografi beragam, mulai dari dataran rendah hingga wilayah perbukitan. Pertumbuhan penduduk yang pesat, alih fungsi lahan, serta sistem drainase yang belum sepenuhnya memadai menjadikan kota ini sangat rentan terhadap genangan dan banjir saat curah hujan tinggi terjadi.
Menurut Mega, banjir di kawasan perkotaan memiliki karakteristik berbeda dibanding banjir di wilayah pedesaan. Di kota, air banjir sering bercampur dengan limbah rumah tangga, kotoran hewan, serta sampah domestik yang menumpuk di saluran air. Campuran ini menciptakan media ideal bagi berkembangnya mikroorganisme patogen penyebab penyakit.
“Banjir membawa limbah domestik dan mengontaminasi sumber air minum masyarakat. Akibatnya, muncul lonjakan kasus diare, terutama pada kelompok rentan seperti balita, anak-anak, dan lansia,” jelas Mega dalam laporannya.
Diare sebagai Penyakit Berbasis Lingkungan
Diare merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang sangat sensitif terhadap perubahan kondisi sanitasi dan kualitas air. Penyakit ini umumnya disebabkan oleh bakteri, virus, atau parasit yang masuk ke tubuh melalui air atau makanan yang terkontaminasi.
Dalam situasi pasca-banjir, risiko penyebaran agen penyebab diare meningkat secara signifikan. Sumur gali dapat terendam air kotor, pipa distribusi air bersih mengalami kebocoran, dan masyarakat terpaksa menggunakan sumber air darurat yang kualitasnya tidak terjamin.
Mega mencatat bahwa di sejumlah kawasan padat penduduk Perkotaan, banjir menyebabkan fasilitas sanitasi seperti jamban keluarga tidak dapat digunakan. Akibatnya, praktik buang air besar sembarangan meningkat dan memperparah kontaminasi lingkungan.
Kelompok Rentan Paling Terdampak
Dalam kajiannya, Mega menekankan bahwa lonjakan kasus diare pasca-banjir paling banyak terjadi pada kelompok rentan. Balita menjadi kelompok dengan risiko tertinggi karena sistem kekebalan tubuh yang belum sempurna serta ketergantungan pada pengasuh dalam menjaga kebersihan makanan dan minuman.
Selain balita, kelompok lansia dan ibu hamil juga berisiko tinggi mengalami komplikasi akibat diare, seperti dehidrasi berat. Jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat, kondisi ini dapat berujung pada kematian, terutama di wilayah dengan akses layanan kesehatan yang terbatas.
“Diare sering dianggap penyakit ringan, padahal dalam kondisi pasca-banjir, dampaknya bisa sangat fatal jika tidak segera ditangani,” ujar Mega.
Peran Perubahan Iklim dalam Meningkatnya Risiko Banjir
Kajian ini juga menyoroti peran perubahan iklim dalam meningkatkan frekuensi dan intensitas curah hujan ekstrem. Fenomena cuaca yang semakin tidak menentu membuat kota-kota pesisir harus beradaptasi dengan risiko banjir yang lebih tinggi.
Curah hujan yang turun dalam waktu singkat dengan intensitas tinggi menyebabkan sistem drainase tidak mampu menampung debit air. Akibatnya, banjir terjadi meskipun hujan hanya berlangsung beberapa jam.
“Perubahan iklim memperparah kerentanan lingkungan perkotaan. Tanpa strategi adaptasi yang tepat, dampak kesehatan seperti diare akan terus berulang setiap musim hujan,” kata Mega.
Promosi PHBS Dinilai Belum Optimal
Salah satu temuan penting dalam kajian tersebut adalah belum optimalnya promosi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di periode pasca-banjir. Banyak masyarakat yang belum memahami langkah-langkah sederhana untuk mencegah diare, seperti merebus air minum, mencuci tangan dengan sabun, dan menjaga kebersihan lingkungan.
Dalam kondisi darurat pasca-banjir, informasi kesehatan sering kali kalah prioritas dibanding upaya pemulihan infrastruktur. Akibatnya, edukasi kepada masyarakat menjadi terabaikan.
Mega menilai bahwa promosi PHBS seharusnya menjadi bagian integral dari penanganan bencana, bukan hanya dilakukan pada situasi normal.
Sistem Peringatan Dini dan Surveilans Penyakit
Kajian ini juga mengungkap kelemahan dalam sistem peringatan dini dan surveilans penyakit pasca-banjir. Deteksi dini lonjakan kasus diare sangat penting agar intervensi dapat dilakukan sebelum situasi berkembang menjadi kejadian luar biasa (KLB).
Namun, dalam praktiknya, pencatatan dan pelaporan kasus sering mengalami keterlambatan. Puskesmas yang terdampak banjir juga menghadapi keterbatasan tenaga dan sarana.
“Tanpa surveilans yang kuat, lonjakan diare sering baru disadari ketika jumlah kasus sudah tinggi,” jelas Mega.
Rekomendasi Pengendalian dan Pencegahan
Berdasarkan hasil kajian, Mega memberikan sejumlah rekomendasi strategis untuk menekan risiko lonjakan diare akibat banjir di perkotaan .
- Penyediaan akses air bersih yang aman dan layak konsumsi bagi masyarakat pasca-banjir.
- Perbaikan dan penguatan infrastruktur sanitasi serta sistem drainase lingkungan.
- Edukasi dan promosi PHBS secara berkala, terutama di wilayah rawan banjir.
- Penguatan sistem peringatan dini dan respons cepat terhadap peningkatan kasus diare.
- Peningkatan koordinasi lintas sektor antara kesehatan, lingkungan hidup, dan kebencanaan.
Peran Pemerintah Daerah dan Lintas Sektor
Mega menegaskan bahwa pengendalian dampak kesehatan akibat banjir tidak bisa hanya dibebankan pada sektor kesehatan. Pemerintah daerah perlu melibatkan berbagai pihak, mulai dari dinas pekerjaan umum, lingkungan hidup, hingga badan penanggulangan bencana daerah.
Penataan kota yang lebih ramah lingkungan, pengendalian sampah, serta perlindungan daerah resapan air menjadi bagian penting dari upaya pencegahan jangka panjang.
“Masalah diare pasca-banjir adalah cerminan dari tata kelola lingkungan perkotaan. Jika akar masalahnya tidak diselesaikan, maka penyakit ini akan terus berulang,” tegas Mega.
Ancaman Kejadian Luar Biasa (KLB)
Jika tidak dilakukan intervensi yang tepat dan cepat, lonjakan kasus diare berpotensi berkembang menjadi kejadian luar biasa (KLB). Hal ini tidak hanya membebani sistem pelayanan kesehatan, tetapi juga meningkatkan angka kesakitan dan kematian.
Dalam konteks perubahan iklim, ancaman KLB diare pasca-banjir menjadi tantangan serius bagi kota-kota pesisir di Indonesia.
Penutup: Banjir, Iklim, dan Kesehatan Publik
Kajian yang dilakukan oleh Mega menjadi pengingat bahwa dampak perubahan iklim tidak hanya terlihat pada kerusakan fisik dan ekonomi, tetapi juga berimplikasi langsung terhadap kesehatan masyarakat. Penyakit berbasis lingkungan seperti diare merupakan indikator nyata dari rapuhnya sistem sanitasi dan ketahanan kota terhadap bencana.
Tanpa upaya pencegahan yang adaptif dan berbasis risiko lingkungan, masyarakat akan terus menjadi korban dari siklus banjir dan penyakit. Oleh karena itu, integrasi antara kebijakan lingkungan, kesehatan, dan penanggulangan bencana menjadi kebutuhan mendesak bagi masa depan Masyarakat Perkotaan di daerah pesisir.

Post a Comment for "Dampak Curah Hujan Tinggi dan Banjir Picu Lonjakan Kasus Diare"