Youtube

Menkeu Purbaya Kaget Tau Cukai Rokok Capai 57 Persen: "Tinggi Amat, Firaun Lu?"

Navigasi.in – Polemik mengenai tingginya tarif cukai rokok kembali memanas. Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya memberikan pernyataan yang cukup mengejutkan publik ketika menyebut bahwa tarif cukai hasil tembakau di Indonesia saat ini sudah mencapai 57 persen. “Tinggi amat, Firaun lu?” ujar Purbaya sembari mengkritisi beban cukai yang dianggap terlalu berat bagi industri sekaligus konsumen. Komentar tersebut dengan cepat menjadi viral di media sosial, memicu perdebatan di kalangan masyarakat, pengusaha rokok, petani tembakau, serta pengamat ekonomi.


Menkeu Purbaya Kaget Tau Cukai Rokok Capai 57 Persen: "Tinggi Amat, Firaun Lu?"
Menkeu Purbaya Kaget Tau Cukai Rokok Capai 57 Persen: "Tinggi Amat, Firaun Lu?"


Latar Belakang Kebijakan Cukai Rokok



Cukai rokok merupakan salah satu sumber penerimaan negara terbesar di Indonesia. Setiap tahun, pemerintah menetapkan besaran tarif cukai yang harus dibayarkan oleh industri rokok sebelum produknya diedarkan ke pasaran. Dana dari cukai ini digunakan untuk membiayai berbagai program pemerintah, termasuk pembangunan infrastruktur, subsidi kesehatan, serta program pengendalian konsumsi tembakau.

Namun, kebijakan kenaikan cukai rokok tidak jarang menimbulkan pro-kontra. Di satu sisi, pemerintah beralasan bahwa cukai tinggi diperlukan untuk menekan konsumsi rokok demi alasan kesehatan publik. Indonesia diketahui sebagai salah satu negara dengan prevalensi perokok tertinggi di dunia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, sekitar 33 persen penduduk Indonesia adalah perokok, termasuk 9,1 persen perokok remaja. Angka ini mengkhawatirkan karena berpotensi menambah beban pembiayaan kesehatan di masa depan.

Di sisi lain, kenaikan cukai yang terlalu tinggi dikhawatirkan akan memukul industri tembakau, terutama industri kecil dan menengah yang masih menjadi tulang punggung perekonomian di sejumlah daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Industri ini menyerap jutaan tenaga kerja mulai dari petani tembakau, buruh pabrik, hingga pedagang eceran.

Pernyataan Menkeu Purbaya yang Menghebohkan

Pernyataan Menkeu Purbaya dianggap “tidak biasa” karena biasanya pejabat negara cenderung berbicara dengan bahasa yang formal. Dalam sebuah forum diskusi kebijakan fiskal yang digelar di Jakarta, Purbaya tampak heran saat memaparkan data tarif cukai hasil tembakau. “Saya kaget melihat datanya. Tarif efektif sudah 57 persen dari harga jual eceran. Tinggi amat. Firaun lu?” ujarnya sambil tertawa, namun nada sindirannya jelas terdengar.

Menurut Purbaya, tarif yang terlalu tinggi bisa menimbulkan sejumlah masalah. Pertama, risiko meningkatnya peredaran rokok ilegal karena konsumen mencari alternatif yang lebih murah. Kedua, ancaman penurunan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah yang masih menjadi konsumen utama rokok kretek. Ketiga, potensi penurunan penerimaan negara jika industri rokok mulai terpuruk dan produksi menurun drastis.

Respon Industri Rokok dan Petani Tembakau

Gabungan Produsen Rokok Indonesia (GAPPRI) menyambut baik pernyataan Menkeu Purbaya yang dianggap mewakili keresahan pelaku usaha. “Kami sudah lama menyampaikan aspirasi agar pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan kenaikan cukai yang terlalu agresif. Jika tarif terlalu tinggi, industri akan kesulitan bertahan. Apalagi masih banyak pabrik rokok kecil di daerah yang bergantung pada kebijakan ini,” ujar Ketua GAPPRI dalam konferensi pers di Surabaya.

Para petani tembakau di Temanggung, Jawa Tengah, juga angkat suara. Mereka mengaku khawatir jika industri rokok merugi, maka serapan tembakau lokal akan berkurang. “Kami hanya ingin harga tembakau stabil dan produksi tetap terserap. Kalau pabrik tutup, kami yang paling menderita,” kata Sutrisno, seorang petani tembakau.

Pandangan Pengamat Ekonomi

Ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Rani Wiryawan, mengatakan bahwa kebijakan cukai memang memiliki dilema. “Di satu sisi, negara perlu mengendalikan konsumsi tembakau karena efek kesehatannya. Namun di sisi lain, negara juga menggantungkan penerimaan cukup besar dari sektor ini. Tahun 2024 saja, penerimaan dari cukai hasil tembakau mencapai lebih dari Rp 230 triliun. Itu sekitar 10 persen dari total penerimaan negara. Jadi pemerintah harus bijak agar tidak membunuh sumber pendapatan tersebut,” jelasnya.

Rani menambahkan bahwa ucapan Menkeu yang menggunakan istilah ‘Firaun’ mencerminkan keresahan di tingkat pembuat kebijakan sendiri. “Mungkin ini cara beliau menunjukkan bahwa kebijakan fiskal harus adil. Kalau cukai sudah 57 persen, artinya hampir setengah harga rokok yang dibayar konsumen adalah pajak. Ini memang tinggi dan perlu evaluasi,” tegasnya.

Kontroversi di Media Sosial

Pernyataan Purbaya dengan cepat menjadi trending topic di X (Twitter). Banyak warganet yang membuat meme dari ucapan “Firaun lu?” sehingga menjadi bahan candaan. Namun, sebagian lainnya justru mengapresiasi gaya blak-blakan Menkeu yang jarang terjadi di kalangan pejabat.

“Baru kali ini ada Menkeu ngomong jujur soal cukai rokok. Salut,” tulis seorang pengguna X. Namun ada juga yang mengkritik, “Jangan cuma komentar doang, turunin dong tarifnya kalau memang dianggap terlalu tinggi.”

Analisis Dampak Jika Tarif Tetap Tinggi

Jika tarif cukai tetap dipertahankan di level 57 persen atau bahkan naik lebih tinggi, ada beberapa potensi dampak yang mungkin terjadi:

  • Meningkatnya Rokok Ilegal: Perbedaan harga antara rokok legal dan ilegal akan semakin lebar, memicu peredaran rokok tanpa pita cukai.
  • Penurunan Produksi: Industri rokok bisa mengurangi kapasitas produksinya, yang berarti pengurangan tenaga kerja.
  • Beban Konsumen: Daya beli kelompok masyarakat miskin bisa semakin tertekan karena rokok adalah barang yang masih dikonsumsi secara luas.
  • Penerimaan Negara Fluktuatif: Jika produksi menurun, penerimaan dari cukai justru berpotensi turun, bertolak belakang dengan tujuan awal.

Opsi Solusi dan Jalan Tengah

Para pakar menyarankan agar pemerintah menyeimbangkan kepentingan kesehatan publik dan keberlanjutan industri. Salah satu opsi adalah memperlambat laju kenaikan tarif cukai sehingga industri punya waktu beradaptasi. Pemerintah juga bisa mendorong diversifikasi produk seperti rokok elektrik atau produk tembakau alternatif yang lebih sehat sehingga konsumsi tembakau konvensional menurun tanpa mematikan industri sepenuhnya.

Pemerintah daerah juga diimbau untuk memanfaatkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) secara efektif untuk membantu petani, meningkatkan pengawasan rokok ilegal, dan membiayai kampanye kesehatan.

Kesimpulan

Pernyataan Menkeu Purbaya mengenai tarif cukai rokok yang mencapai 57 persen menjadi momentum penting untuk mengevaluasi kebijakan fiskal di sektor hasil tembakau. Apakah pemerintah akan menurunkan tarif, menahan kenaikan, atau justru tetap melanjutkan kebijakan cukai progresif masih menjadi tanda tanya. Namun yang pasti, pernyataan “Tinggi amat, Firaun lu?” telah memicu diskusi nasional mengenai keseimbangan antara kesehatan masyarakat, penerimaan negara, dan keberlanjutan industri tembakau.

Kebijakan yang diambil dalam waktu dekat akan menentukan nasib jutaan pekerja di sektor ini sekaligus memengaruhi pola konsumsi masyarakat. Navigasi.in akan terus mengikuti perkembangan isu ini dan memberikan laporan mendalam bagi pembaca setia.

Editor: Tim Redaksi Navigasi.in | Foto: Ilustrasi Rokok & Gedung Kemenkeu

Post a Comment for "Menkeu Purbaya Kaget Tau Cukai Rokok Capai 57 Persen: "Tinggi Amat, Firaun Lu?""