Lampung Melawan! Rahmat Mirzani Djausal Stop Jalur Batubara Demi Jalan Rakyat
NAVIGASI.in – Kepemimpinan daerah dalam sistem desentralisasi tidak hanya diukur dari kapasitas administratif, tetapi juga dari kemampuan membangun daya tawar politik dan ekonomi terhadap pemerintah pusat dan para aktor korporasi. Dalam konteks inilah, Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, atau yang akrab disapa Iyay Mirza, tampil mencuri perhatian publik. Serangkaian kebijakan populis yang ia keluarkan dalam beberapa bulan terakhir menggambarkan arah kepemimpinan yang berfokus pada kebutuhan langsung masyarakat, sekaligus upaya memperkuat posisi strategis Lampung di tingkat nasional.
Kebijakan Populis yang Mendapat Sorotan
Sejak awal masa jabatannya, Mirza meluncurkan kebijakan-kebijakan yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat: penghapusan uang komite sekolah, penghapusan biaya pendaftaran siswa baru, pembebasan biaya seragam sekolah bagi siswa SD dan SMP negeri, pemutihan pajak kendaraan bermotor, hingga intervensi harga singkong untuk melindungi petani. Kebijakan tersebut disambut positif karena mengurangi beban biaya hidup masyarakat, terutama di tengah tekanan ekonomi pascapandemi dan harga pangan yang berfluktuasi.
Namun, gebrakan paling berani datang ketika Mirza “ngegening” – sebuah istilah dalam bahasa Lampung yang berarti menekan atau mendesak – Kementerian Perhubungan agar menghentikan ekspor batubara melalui Pelabuhan Panjang, Bandar Lampung. Keputusan ini bukan sekadar langkah teknis, tetapi sebuah manuver politik dan ekonomi yang berpotensi mengubah peta hubungan pusat-daerah.
Argumentasi Utama: Beban Infrastruktur Lampung
Argumen yang dikemukakan Mirza sederhana tetapi kuat: lalu lintas truk-truk besar pengangkut batubara dari Sumatera Selatan menuju Pelabuhan Panjang telah menyebabkan kerusakan parah pada infrastruktur jalan Lampung. Data Dinas Bina Marga Provinsi Lampung tahun 2023 mencatat bahwa lebih dari 40% jalan provinsi berada dalam kondisi rusak berat. Biaya perbaikan jalan menelan anggaran daerah yang besar, sementara kontribusi ekonomi dari aktivitas ekspor batubara tersebut terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) hampir nihil.
Ironisnya, sebagian besar batubara yang diangkut bukan berasal dari Lampung. Lampung hanya menjadi jalur lintas distribusi, menanggung polusi udara, kemacetan, kecelakaan lalu lintas, dan kerusakan infrastruktur, tetapi tidak mendapatkan manfaat fiskal yang memadai. Hal ini memperkuat narasi ketidakadilan fiskal: Lampung menanggung beban nasional tanpa memperoleh kompensasi proporsional.
Posisi Geografis: Berkah dan Beban
Lampung adalah provinsi yang memiliki posisi strategis di Pulau Sumatera karena menjadi gerbang logistik antara Sumatera dan Jawa. Pelabuhan Bakauheni, Jalan Tol Trans Sumatera, dan Pelabuhan Panjang menjadikan Lampung sebagai simpul transportasi vital. Namun, posisi strategis ini juga menghadirkan beban berat bagi pemerintah daerah karena infrastruktur lokal dipaksa melayani kepentingan distribusi nasional.
Ketika truk batubara dengan tonase berlebih melintasi jalan provinsi, daya tahan infrastruktur menurun drastis. Akibatnya, pemerintah daerah harus terus mengalokasikan dana besar untuk perbaikan jalan. Sayangnya, PAD Lampung pada tahun 2024 hanya sekitar Rp3,3 triliun dari total APBD Rp8,3 triliun. Artinya, kemandirian fiskal Lampung hanya sekitar 39%. Sisanya berasal dari transfer pemerintah pusat seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), maupun Dana Bagi Hasil (DBH). Ketergantungan ini membuat Lampung memiliki ruang fiskal yang sempit untuk inovasi pembangunan.
Mewirausahakan Birokrasi: Kerangka Teoritis
Dalam bukunya Reinventing Government (1992), David Osborne dan Ted Gaebler memperkenalkan konsep entrepreneurial government atau “mewirausahakan birokrasi.” Konsep ini menekankan bahwa birokrasi publik tidak boleh hanya menjadi operator kebijakan, tetapi harus mampu menjadi pengarah (steering rather than rowing), berorientasi pada hasil, mendorong inovasi, dan menciptakan nilai tambah ekonomi bagi warganya.
Prinsip ini sangat relevan untuk memahami strategi Mirza. Berikut adalah beberapa prinsip Osborne yang bisa digunakan untuk menganalisis kebijakan Lampung:
- Mengubah peran pemerintah: Mirza tidak hanya menjadi pelaksana kebijakan pusat tetapi juga menjadi pengarah. Dengan menekan Kementerian Perhubungan, ia memaksa pemerintah pusat memperhitungkan kepentingan daerah.
- Orientasi hasil: Kebijakan harus dinilai berdasarkan dampaknya bagi masyarakat. Jika jalur batubara hanya menyebabkan kerusakan jalan dan biaya sosial, maka kebijakan tersebut layak ditinjau ulang.
- Mendorong kompetisi: Pemerintah daerah dapat menciptakan mekanisme baru seperti tarif retribusi atau skema jalur alternatif untuk menciptakan distribusi beban ekonomi yang lebih adil.
- Berorientasi pada masyarakat: Kepentingan warga Lampung harus menjadi prioritas utama. Jalan yang baik, udara yang bersih, dan keamanan lalu lintas adalah hak publik yang harus dilindungi.
Strategi Politik Fiskal
Langkah menghentikan ekspor batubara melalui Pelabuhan Panjang bukan hanya kebijakan transportasi, tetapi juga strategi politik fiskal. Dengan menghentikan jalur ini, Mirza sedang membangun posisi tawar agar pemerintah pusat memberikan kompensasi fiskal yang lebih adil. Beberapa opsi kompensasi yang bisa diperjuangkan antara lain:
- Dana kompensasi perbaikan jalan dari APBN atau Kementerian BUMN.
- Skema retribusi khusus bagi angkutan batubara yang melintasi Lampung.
- Peningkatan PAD melalui mekanisme Dana Bagi Hasil (DBH) batubara.
- Insentif fiskal khusus untuk provinsi yang menjadi jalur distribusi strategis.
Jika berhasil, Lampung akan menjadi contoh bagi provinsi lain yang menghadapi masalah serupa, seperti Riau dengan jalur distribusi CPO (crude palm oil) atau Kalimantan Timur dengan jalur distribusi batubara.
Implikasi Kebijakan
Tindakan Mirza memiliki implikasi yang luas, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial:
- Politik simbolik: Masyarakat melihat pemimpinnya berani melawan kepentingan pusat dan korporasi besar. Hal ini meningkatkan legitimasi politik Mirza dan memperkuat citranya sebagai pemimpin pro-rakyat.
- Portofolio fiskal: Jika Lampung berhasil mendapatkan kompensasi, provinsi lain akan terdorong untuk menuntut perlakuan serupa, menciptakan dinamika baru dalam hubungan fiskal pusat-daerah.
- Transformasi birokrasi: Birokrasi Lampung didorong untuk lebih kreatif dan inovatif, tidak sekadar menjalankan rutinitas administratif tetapi mencari terobosan kebijakan.
- Risiko politik: Ketegangan dengan pusat dan pelaku usaha bisa menimbulkan tekanan balik. Namun, jika komunikasi politik dikelola dengan baik, risiko ini bisa diubah menjadi peluang negosiasi.
Daya Tawar dan Desentralisasi
Desentralisasi yang dimulai sejak 2001 memberi peluang bagi daerah untuk mengelola sebagian kewenangan fiskal dan administratif. Namun, kenyataannya banyak daerah masih bergantung pada pusat karena sumber PAD terbatas. Kasus Lampung menunjukkan bahwa desentralisasi tidak hanya soal transfer kewenangan, tetapi juga soal daya tawar. Dengan memanfaatkan posisi strategisnya, Lampung bisa memaksa pusat untuk berbagi beban dan manfaat secara lebih adil.
Jika strategi Mirza berhasil, ia bisa menjadi preseden bagi model baru hubungan pusat-daerah: negotiated decentralization, di mana daerah tidak pasif menerima kebijakan pusat tetapi aktif menegosiasikan kepentingannya.
Kemandirian Fiskal sebagai Tujuan Akhir
Langkah menghentikan ekspor batubara melalui Pelabuhan Panjang hanyalah salah satu bagian dari strategi besar menuju kemandirian fiskal. Pemerintah daerah perlu memanfaatkan momentum ini untuk mendorong diversifikasi ekonomi, menarik investasi yang memberikan nilai tambah lokal, serta memperkuat sektor-sektor unggulan seperti pertanian, perikanan, pariwisata, dan industri pengolahan.
Kemandirian fiskal akan memberi ruang lebih besar bagi Lampung untuk membiayai pembangunan tanpa terlalu bergantung pada transfer pusat. Hal ini sejalan dengan semangat otonomi daerah yang bertujuan mempercepat pemerataan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kesimpulan: Model Kepemimpinan Baru
Langkah Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, untuk menghentikan ekspor batubara melalui Pelabuhan Panjang adalah contoh nyata dari upaya mewirausahakan birokrasi. Dengan keberanian, kreativitas, dan orientasi hasil, Mirza mengubah birokrasi daerah menjadi aktor strategis yang mampu menciptakan keseimbangan fiskal dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Jika langkah ini diikuti dengan konsistensi, dukungan legislatif, serta kolaborasi dengan masyarakat sipil dan sektor swasta, Lampung bisa menjadi pionir tata kelola daerah yang berdaya, tidak hanya menjadi “korban” kebijakan nasional, tetapi mitra sejajar yang diperhitungkan dalam pembangunan Indonesia.
Kisah Lampung bisa menjadi inspirasi bagi provinsi lain untuk tidak sekadar menerima keadaan, tetapi berani mengubah struktur kebijakan agar lebih adil. Dalam jangka panjang, inilah esensi desentralisasi: memberikan ruang bagi daerah untuk berinovasi, bernegosiasi, dan menciptakan solusi lokal bagi masalah nasional.
Post a Comment for "Lampung Melawan! Rahmat Mirzani Djausal Stop Jalur Batubara Demi Jalan Rakyat"