Fenomena “Rayap Besi” dan “Pompa” di Medan: Realita Ironis di Balik Pencurian dan Kecanduan
Medan, Navigasi.in – Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Kota Medan dan sekitarnya dihadapkan pada fenomena sosial yang mengkhawatirkan: maraknya pencurian besi tua yang dilakukan oleh sekelompok orang yang dijuluki "rayap besi", serta meningkatnya jumlah pengguna narkoba jenis sabu yang akrab disebut "pompa". Kedua istilah ini bukan sekadar ejekan jalanan, melainkan gambaran dari ironi sosial yang dalam dan menyakitkan.
![]() |
Fenomena “Rayap Besi” dan “Pompa” di Medan: Realita Ironis di Balik Pencurian dan Kecanduan |
Dalam video yang beredar luas di media sosial, terlihat seorang pria sedang berada di atas rangka baja sebuah bangunan tua, diduga tengah membongkar dan mencuri bagian logam dari struktur tersebut. “Rayap besi udah mulai main proyek,” tulis si pengunggah video, seakan menyindir bahwa pencuri logam ini sudah naik level – bukan lagi mengincar pagar rumah atau penutup parit, tetapi struktur bangunan besar yang bernilai lebih tinggi.
Dari Pecahan Besi ke Serbuk Putih
Fenomena “rayap besi” ini tidak lepas dari latar belakang ekonomi yang suram dan kecanduan narkoba. Banyak dari para pencuri logam ini adalah pengguna aktif narkoba, terutama sabu. Di kalangan mereka, istilah “pompa” sudah jadi istilah umum yang menggambarkan aktivitas mengonsumsi sabu melalui alat isap (bong).
Dalam sebuah percakapan yang viral, seseorang bertanya kepada pencuri pagar yang menggunakan becak hantu:
“Cair bang?”“Iya bang,” jawab si rayap besi.“Gak ketahuan bang? Nanti ada CCTV.”“Gak apa-apa bang, punya Cina aja kok…”
Pernyataan terakhir inilah yang mengundang kecaman dan menyisakan pertanyaan besar. Apakah status kepemilikan suatu barang – dalam hal ini milik etnis tertentu – bisa menjadi justifikasi untuk mencuri?
Rasisme dan Normalisasi Kejahatan
Komentar seperti “punya Cina aja kok” bukan hanya mencerminkan rasisme, tapi juga menunjukkan mentalitas permisif terhadap kejahatan. Seolah-olah pencurian dianggap sah atau “tidak apa-apa” selama korbannya berasal dari kelompok tertentu yang dipersepsikan lebih kaya atau bukan “pribumi”.
Pandangan ini jelas berbahaya. Ia bisa melahirkan dendam sosial, memperuncing konflik etnis, dan membenarkan kriminalitas atas dasar sentimen kelompok. Dalam konteks masyarakat multietnis seperti Medan, narasi semacam ini dapat dengan cepat memicu ketegangan horizontal yang sulit dikendalikan.
Besi Tua Jadi Komoditas Terlarang
Harga besi tua di pasaran memang cukup menggiurkan. Per kilogramnya bisa dihargai Rp3.000 hingga Rp6.000 tergantung jenis dan kualitas. Dalam satu hari, seorang “rayap besi” bisa menghasilkan 20–50 kg logam hasil curian, yang artinya mereka bisa mendapatkan antara Rp100.000 hingga Rp300.000 – cukup untuk membeli satu paket sabu ukuran kecil, atau sekadar mengganjal lapar hari itu.
Pemerintah Daerah Seakan Menutup Mata
Walaupun banyak laporan warga terkait pencurian besi, pagar rumah, penutup saluran air, hingga struktur bangunan tua, penindakan dari aparat sering kali lambat atau bahkan tidak dilakukan sama sekali. Ketiadaan patroli rutin, minimnya pengawasan terhadap pedagang besi tua ilegal, serta kurangnya rehabilitasi bagi pengguna narkoba membuat permasalahan ini seperti bom waktu sosial.
“Pernah saya tangkap satu, saya serahkan ke polisi. Tapi dua hari kemudian sudah nongol lagi di pasar besi tua. Kayak gak ada efek jera,” ujar seorang warga Kelurahan Tegal Sari, Medan Area.
Becak Hantu: Kendaraan Resmi Para Rayap
Becak hantu menjadi kendaraan favorit para “rayap besi”. Dimodifikasi tanpa surat-surat resmi dan tidak layak jalan, kendaraan ini bisa membawa beban hingga ratusan kilogram logam. Malam hari, suara besi yang diseret dan diangkut oleh becak ini sudah menjadi hal biasa di beberapa lingkungan pinggiran kota.
“Kalau malam, suara gesekan besi sama suara mesin becak itu kayak serem sendiri dengarnya. Tapi warga banyak yang udah takut, karena biasanya mereka bawa pisau juga,” ujar Sari, warga Medan Tembung.
Solusi: Bukan Sekadar Penindakan
Menghentikan siklus ini tidak cukup hanya dengan menangkap pelakunya. Harus ada pendekatan menyeluruh dari berbagai sektor:
- Rehabilitasi Narkoba – Pecandu harus mendapat pertolongan medis dan psikologis.
- Ekonomi Alternatif – Pelatihan kerja informal seperti bengkel atau proyek padat karya.
- Pengawasan Pedagang Besi – Tindakan tegas pada pengepul logam ilegal.
- Pendidikan Moral dan Sosial – Kampanye anti-radikalisme dan kriminalitas di sekolah dan masyarakat.
Menyadarkan, Bukan Menghakimi
Kita tidak bisa hanya mencemooh para pencuri logam dan pengguna sabu sebagai “sampah masyarakat”. Banyak dari mereka hidup dalam kemiskinan dan tidak punya akses ke solusi. Namun, ini tidak berarti kita membenarkan kejahatan. Justru inilah saatnya membangun sistem sosial yang adil dan tanggap.
Karena jika tidak, rayap besi bukan hanya akan terus menggerogoti logam-logam mati di kota kita, tapi juga masa depan dan kemanusiaan di dalamnya.
Penutup
Fenomena “rayap besi” dan “pompa” adalah alarm keras bagi kita semua. Saatnya kita mulai peduli, mulai dari hal kecil: menjaga lingkungan, peduli tetangga, dan menghidupkan nilai moral di tengah masyarakat.
Post a Comment for "Fenomena “Rayap Besi” dan “Pompa” di Medan: Realita Ironis di Balik Pencurian dan Kecanduan"