Praktik Pergundikan di Era Kolonial : Kisah Pilu Anak Kampung Berambut Pirang
Navigasiin - Tenggorokanku seakan tersumbat, ketika melihatnya berseliweran di sawah. Bersenjatakan setangkai kayu, di belakang sekumpulan kerbau, anak kampung berambut pirang.
![]() |
Praktik Pergundikan di Era Kolonial: Kisah Pilu "Anak Kampung Berambut Pirang |
Itulah sepenggal sajak berjudul Het Blonde Kampongkind (Anak Kampung Berambut Pirang) karya Gerrit, yang terbit di majalah De Reflector pada 1916. Sajak ini menggambarkan ironi praktik pergundikan di Hindia Belanda—di mana perempuan pribumi, Tionghoa, hingga Jepang, menjadi objek pemuas nafsu para baron (orang Eropa) sebelum mereka menikah dengan perempuan Eropa.
Dari Gundik hingga Dibuang
Sejak 1870, gelombang pemuda Eropa berdatangan ke Hindia Belanda. Mereka bekerja sebagai serdadu, administratur pabrik tebu, atau buruh perkebunan tembakau di Deli. Kebanyakan datang sebagai lajang dan belum mampu membiayai hidup mewah.
Sebelum sukses dan menikah dengan perempuan Eropa, para baron ini mencari nyai—perempuan pribumi yang menjadi teman tidur sekaligus pelayan. Usia mereka bervariasi, mulai dari 11 hingga 35 tahun. Gadis belia 12 tahun sudah biasa dinikahkan, sementara gundik berusia 30 tahun ke atas kerap dianggap "tua" dan terancam diusir.
Dalam roman Jan Fusiler (S. Franke, 2002), digambarkan nasib tragis seorang nyai yang dibuang seperti kain usang: "Ia telah memberikan surat lepas. Apa lagi yang bisa diperbuat dengan seorang unta tua itu?"
Gundik dari Berbagai Etnis
Tak hanya perempuan Jawa, gundik juga berasal dari etnis Tionghoa, Timor, hingga Jepang. Gundik Jepang dianggap paling elite. Dalam novel Rubber (M.H. Szekely-Lulofs, 2010), seorang geisha digambarkan sebagai "boneka kaca yang selalu bersih dan penuh kasih sayang".
Di tangsi tentara, gundik disebut moentji; di Deli dikenal sebagai Kartina; sementara di kalangan KNIL, mereka dipanggil Sarina.
Nasib mereka sering berakhir tragis—dijual, diusir, atau mati dalam kesepian, seperti anak kampung berambut pirang dalam sajak Gerrit.
(Sumber: Baay, 2010; Franke, 2002; Szekely-Lulofs, 2010)
Post a Comment for "Praktik Pergundikan di Era Kolonial : Kisah Pilu Anak Kampung Berambut Pirang"