Youtube

Peretas Korea Utara Gasak US$2 Miliar Kripto Sepanjang 2025, Rekor Terbesar dalam Sejarah Serangan Blockchain

Navigasi.in – Dunia kripto global kembali diguncang oleh laporan serius terkait kejahatan siber lintas negara. Kelompok peretas yang dikaitkan dengan Korea Utara atau Democratic People’s Republic of Korea (DPRK) dilaporkan berhasil mencuri sekitar US$2 miliar aset kripto sepanjang tahun 2025. Angka ini melonjak sekitar 51 persen dibandingkan tahun sebelumnya dan menjadi rekor pencurian kripto terbesar yang pernah tercatat dalam satu tahun.

Peretas Korea Utara Gasak US$2 Miliar Kripto Sepanjang 2025, Rekor Terbesar dalam Sejarah Serangan Blockchain
Peretas Korea Utara Gasak US$2 Miliar Kripto Sepanjang 2025, Rekor Terbesar dalam Sejarah Serangan Blockchain


Temuan tersebut diungkap oleh perusahaan analitik blockchain terkemuka Chainalysis, yang selama bertahun-tahun menjadi rujukan global dalam pelacakan transaksi kripto ilegal. Laporan ini menegaskan bahwa Korea Utara kini berada di posisi teratas sebagai aktor negara paling dominan dalam kejahatan siber berbasis blockchain.

Serangan Berskala Besar Jadi Pemicu Lonjakan

Menurut Chainalysis, lonjakan nilai pencurian kripto sepanjang 2025 tidak disebabkan oleh banyaknya serangan kecil, melainkan oleh beberapa serangan berskala sangat besar yang menargetkan layanan kripto terpusat atau centralized crypto services.

Salah satu insiden paling mencolok terjadi pada Maret 2025, ketika bursa kripto global Bybit mengalami pelanggaran keamanan besar yang menyebabkan kerugian sekitar US$1,4 miliar. Peristiwa ini langsung tercatat sebagai salah satu peretasan kripto terbesar dalam sejarah industri blockchain.

Serangan terhadap Bybit menjadi simbol perubahan strategi kelompok peretas DPRK, dari pencurian massal bernilai kecil menuju serangan terfokus bernilai sangat besar.

Dominasi DPRK dalam Peretasan Layanan Kripto Terpusat

Chainalysis mencatat bahwa kelompok peretas yang berafiliasi dengan Korea Utara bertanggung jawab atas sekitar 76 persen dari seluruh peretasan yang menargetkan layanan kripto terpusat sepanjang 2025.

Layanan terpusat seperti bursa kripto, kustodian aset digital, dan penyedia layanan keuangan berbasis blockchain menjadi sasaran utama karena menyimpan dana pengguna dalam jumlah besar. Sekali sistem keamanan berhasil ditembus, potensi kerugian bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran dolar.

Pola ini menunjukkan bahwa serangan siber kini bukan lagi tindakan oportunistik semata, melainkan operasi terencana dengan target bernilai tinggi.

Perubahan Strategi: Sedikit Target, Dampak Maksimal

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, peretas Korea Utara kini tidak lagi menyasar ribuan dompet kecil secara acak. Mereka memilih pendekatan high-value targeting, yakni menargetkan sedikit entitas tetapi dengan potensi keuntungan yang sangat besar.

Strategi ini mengindikasikan tingkat intelijen, perencanaan, dan kemampuan teknis yang jauh lebih matang. Banyak analis keamanan siber meyakini bahwa operasi ini bersifat state-sponsored atau didukung langsung oleh negara.

Dampaknya tidak hanya berupa kerugian finansial, tetapi juga mengguncang kepercayaan investor dan stabilitas pasar kripto global.

Motif Negara di Balik Kejahatan Kripto

Korea Utara telah lama dicurigai menggunakan kejahatan siber sebagai sumber pendanaan alternatif negara. Di tengah tekanan sanksi internasional yang membatasi akses ke sistem keuangan global, aset kripto menjadi jalur yang relatif sulit dilacak.

Berbagai laporan intelijen internasional sebelumnya menyebut bahwa dana hasil peretasan kripto digunakan untuk mendukung program nuklir dan persenjataan strategis Korea Utara.

Lonjakan pencurian kripto pada 2025 semakin memperkuat kekhawatiran bahwa blockchain kini telah menjadi medan konflik ekonomi global.

Teknik Pencucian Uang Semakin Canggih

Setelah berhasil mencuri dana, tantangan berikutnya bagi peretas adalah menghilangkan jejak transaksi. Chainalysis mengungkap bahwa dana hasil kejahatan dicuci melalui broker berbahasa Mandarin, layanan pencampur (mixing services), serta blockchain bridges untuk memindahkan aset lintas jaringan.

Transaksi sengaja dipecah menjadi nilai di bawah US$500.000 per transaksi agar tidak memicu sistem peringatan otomatis yang digunakan bursa dan lembaga pemantau.

Metode ini membuat pelacakan dana menjadi jauh lebih rumit dan memakan waktu.

Pemanfaatan AI dalam Operasi Kejahatan Siber

Laporan Chainalysis juga menyoroti meningkatnya penggunaan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) oleh kelompok peretas Korea Utara. AI digunakan untuk mengotomatisasi proses pencucian uang, memilih jalur transaksi yang paling aman, serta menghindari pola yang mudah dikenali.

Dengan teknologi ini, dana hasil peretasan dapat dipindahkan melalui berbagai layanan kripto dalam waktu kurang dari 45 hari, jauh lebih cepat dibandingkan metode konvensional.

Fenomena ini menandai eskalasi baru dalam kejahatan siber global.

Pola Ganda Serangan Kripto Global

Selain serangan besar bernilai tinggi, jumlah peretasan terhadap dompet kecil memang meningkat sepanjang 2025. Namun, nilai kerugian dari serangan kecil tersebut justru menurun.

Hal ini mencerminkan adanya dua kutub strategi serangan: pencurian massal bernilai kecil di satu sisi, dan serangan langka tetapi berdampak sangat besar di sisi lain. Dalam kategori kedua ini, Korea Utara disebut sebagai aktor paling dominan.

Dampak Terhadap Industri Kripto

Lonjakan kejahatan siber ini memberikan tekanan besar bagi industri kripto global yang sedang berupaya membangun kembali kepercayaan publik. Bursa kripto kini dipaksa meningkatkan sistem keamanan, audit internal, serta penggunaan teknologi deteksi berbasis AI.

Regulator di berbagai negara juga semakin agresif mendorong transparansi dan kepatuhan hukum dari penyedia layanan aset digital.

Relevansi bagi Indonesia dan Asia Tenggara

Bagi Indonesia dan kawasan Asia Tenggara, laporan ini menjadi peringatan penting. Tingginya adopsi kripto di kawasan ini harus diimbangi dengan peningkatan literasi keamanan digital dan pengawasan regulator.

Pengguna ritel diimbau untuk tidak menyimpan seluruh aset di bursa, mengaktifkan keamanan berlapis, serta memahami risiko kejahatan siber global.

Tantangan Penegakan Hukum Internasional

Kejahatan siber lintas negara menghadapi tantangan besar dalam penegakan hukum. Korea Utara sebagai negara tertutup sulit dijangkau mekanisme hukum internasional.

Namun demikian, transparansi blockchain tetap memberikan peluang bagi pelacakan dana ilegal, terutama melalui kolaborasi antara lembaga penegak hukum dan perusahaan analitik blockchain.

Kesimpulan

Pencurian kripto senilai US$2 miliar oleh peretas Korea Utara sepanjang 2025 bukan sekadar rekor baru, melainkan sinyal eskalasi serius dalam kejahatan siber global. Dengan strategi serangan bernilai tinggi, teknik pencucian uang canggih, serta pemanfaatan AI, DPRK kini menjadi aktor paling berbahaya dalam ekosistem kripto dunia.

Bagi industri kripto, regulator, dan pengguna, laporan ini menjadi pengingat bahwa keamanan dan kolaborasi global adalah kunci menjaga masa depan aset digital.

Post a Comment for "Peretas Korea Utara Gasak US$2 Miliar Kripto Sepanjang 2025, Rekor Terbesar dalam Sejarah Serangan Blockchain"