Youtube

Curah Hujan Tinggi Picu Risiko Chikungunya di Bandar Lampung, Ahli Ingatkan Penguatan Pengendalian Berbasis Lingkungan

Bandar Lampung, 2025 – Curah hujan tinggi yang melanda sejumlah wilayah Kota Bandar Lampung dalam beberapa waktu terakhir kembali memunculkan kekhawatiran terhadap meningkatnya risiko penyakit tular vektor, khususnya chikungunya. Penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus ini dikenal sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, terutama keberadaan genangan air pasca hujan ekstrem.


Curah Hujan Tinggi Picu Risiko Chikungunya di Bandar Lampung, Ahli Ingatkan Penguatan Pengendalian Berbasis Lingkungan
Curah Hujan Tinggi Picu Risiko Chikungunya di Bandar Lampung, Ahli Ingatkan Penguatan Pengendalian Berbasis Lingkungan


Pemerhati kesehatan lingkungan sekaligus mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Lampung, Putri Suci Rulliyani, menilai bahwa fenomena hujan ekstrem yang semakin sering terjadi akibat perubahan iklim telah menciptakan kondisi ideal bagi perkembangbiakan nyamuk Aedes di lingkungan perkotaan.

“Curah hujan tinggi menyebabkan banyak air menggenang pada wadah penampungan air rumah tangga, saluran drainase, hingga barang-barang bekas di sekitar permukiman. Kondisi ini menjadi habitat yang sangat ideal bagi nyamuk Aedes untuk bertelur dan berkembang biak,” ujar Putri.

Chikungunya sebagai Penyakit Tular Vektor yang Sensitif Lingkungan

Chikungunya merupakan penyakit infeksi virus yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes. Penyakit ini ditandai dengan gejala demam tinggi mendadak, nyeri sendi hebat, sakit kepala, nyeri otot, hingga ruam kulit. Meski jarang menyebabkan kematian, chikungunya dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya secara signifikan akibat nyeri sendi yang bisa berlangsung lama.

Dalam konteks kesehatan masyarakat, chikungunya termasuk penyakit yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Kepadatan vektor, perilaku masyarakat, serta kondisi sanitasi menjadi faktor kunci dalam penularannya.

Putri menjelaskan bahwa nyamuk Aedes memiliki kebiasaan berkembang biak di air bersih yang tergenang, seperti bak mandi, ember, drum, talang air, hingga pot tanaman. Oleh karena itu, peningkatan curah hujan yang tidak diimbangi dengan pengelolaan lingkungan yang baik akan langsung berdampak pada peningkatan populasi nyamuk.

Perubahan Iklim dan Hujan Ekstrem

Perubahan iklim global telah memengaruhi pola cuaca di Indonesia. Peningkatan suhu udara dan perubahan sirkulasi atmosfer menyebabkan curah hujan menjadi lebih tidak menentu, dengan intensitas tinggi dalam waktu singkat.

Di Kota Bandar Lampung, hujan ekstrem sering kali menyebabkan genangan di kawasan permukiman akibat sistem drainase yang belum optimal. Air hujan yang tidak segera mengalir menciptakan banyak titik genangan yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk.

“Perubahan iklim tidak hanya berdampak pada bencana seperti banjir, tetapi juga meningkatkan risiko penyakit tular vektor. Chikungunya adalah salah satu contoh nyata,” kata Putri.

Lag Time antara Hujan dan Kasus Chikungunya

Salah satu temuan penting dalam kajian kesehatan lingkungan adalah adanya jeda waktu (lag time) antara kejadian hujan ekstrem dan peningkatan kasus chikungunya. Putri menjelaskan bahwa hal ini berkaitan erat dengan siklus hidup nyamuk Aedes dan masa inkubasi virus.

Telur nyamuk Aedes yang menempel pada dinding kontainer air akan menetas menjadi larva setelah terendam air hujan. Dalam waktu sekitar 7–10 hari, larva berkembang menjadi nyamuk dewasa yang siap menggigit manusia. Setelah virus chikungunya masuk ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk, dibutuhkan waktu inkubasi beberapa hari sebelum gejala muncul.

“Itulah sebabnya peningkatan kasus chikungunya sering terjadi beberapa minggu setelah hujan ekstrem, bukan secara langsung,” jelas Putri.

Faktor Lingkungan Perkotaan di Bandar Lampung

Karakteristik lingkungan perkotaan di Bandar Lampung turut memperbesar risiko penularan chikungunya. Pertumbuhan penduduk yang pesat, kepadatan permukiman, serta keterbatasan ruang terbuka hijau menjadi tantangan tersendiri dalam pengendalian vektor.

Putri menyoroti beberapa faktor lingkungan yang berkontribusi terhadap meningkatnya risiko chikungunya, antara lain:

  • Sistem drainase yang kurang optimal sehingga menyebabkan genangan air.
  • Banyaknya kontainer air rumah tangga yang tidak tertutup rapat.
  • Pengelolaan sampah yang belum maksimal.
  • Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

Lingkungan padat penduduk dengan mobilitas tinggi juga mempermudah penyebaran virus dari satu wilayah ke wilayah lain.

Dampak Kesehatan dan Sosial Chikungunya

Meski jarang berakibat fatal, chikungunya memiliki dampak kesehatan dan sosial yang signifikan. Nyeri sendi yang ditimbulkan dapat membuat penderitanya tidak mampu beraktivitas normal selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.

Bagi masyarakat pekerja harian, kondisi ini dapat berdampak pada menurunnya produktivitas dan pendapatan. Pada anak-anak dan lansia, chikungunya juga berpotensi menimbulkan komplikasi yang memerlukan perhatian medis lebih lanjut.

Lonjakan kasus chikungunya juga akan membebani fasilitas pelayanan kesehatan, terutama puskesmas di wilayah terdampak.

Pentingnya Pengendalian Berbasis Lingkungan

Putri menekankan bahwa pengendalian chikungunya tidak dapat dilakukan secara reaktif ketika kasus sudah meningkat. Menurutnya, strategi pengendalian harus berbasis lingkungan dan dilakukan secara preventif, terutama pada periode hujan ekstrem.

“Pengendalian vektor tidak cukup dilakukan saat wabah terjadi. Respons harus dimulai sejak hujan ekstrem dimulai, sebelum kepadatan nyamuk Aedes meningkat,” tegasnya.

Rekomendasi Strategi Pengendalian

Berdasarkan kajian kesehatan lingkungan dan pengalaman lapangan, Putri Suci Rulliyani merekomendasikan sejumlah strategi pengendalian chikungunya berbasis lingkungan, antara lain:

  • Penguatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) 3M Plus yang disesuaikan dengan kondisi hujan ekstrem.
  • Manajemen kontainer air rumah tangga, termasuk penutupan rapat dan pengurasan rutin.
  • Pengembangan surveilans terpadu yang menghubungkan data iklim, kepadatan jentik, dan kasus chikungunya.
  • Perbaikan sistem drainase lingkungan dan pengelolaan sampah.
  • Peningkatan promosi kesehatan dan partisipasi aktif masyarakat.

Peran Puskesmas dan Pemerintah Daerah

Puskesmas memiliki peran strategis dalam upaya pencegahan dan pengendalian chikungunya. Selain melakukan surveilans kasus, puskesmas juga berperan dalam edukasi masyarakat dan pemantauan lingkungan.

Pemerintah daerah perlu mendukung upaya ini melalui kebijakan lintas sektor, termasuk perbaikan infrastruktur drainase, penyediaan sarana pengelolaan sampah, serta penguatan program kesehatan lingkungan.

Kolaborasi Lintas Sektor sebagai Kunci

Putri berharap adanya kolaborasi yang lebih kuat antara pemerintah daerah, puskesmas, sektor kesehatan lingkungan, akademisi, dan masyarakat. Menurutnya, pengendalian penyakit tular vektor tidak bisa dilakukan secara parsial.

“Diperlukan kerja sama lintas sektor agar upaya pencegahan dapat berjalan efektif dan berkelanjutan,” ujarnya.

Adaptasi Perubahan Iklim dalam Kesehatan Masyarakat

Dalam jangka panjang, pengendalian chikungunya harus menjadi bagian dari strategi adaptasi perubahan iklim di bidang kesehatan masyarakat. Integrasi data iklim dengan sistem kewaspadaan dini penyakit tular vektor menjadi langkah penting untuk menghadapi tantangan di masa depan.

Kebijakan kesehatan lingkungan yang adaptif akan membantu menekan risiko penyakit meskipun curah hujan tinggi terus terjadi akibat perubahan iklim.

Penutup: Menjaga Kesehatan di Tengah Iklim yang Berubah

Curah hujan tinggi dan perubahan iklim merupakan realitas yang tidak dapat dihindari. Namun, dampaknya terhadap kesehatan masyarakat, termasuk risiko chikungunya, dapat ditekan melalui pengendalian berbasis lingkungan yang kuat dan berkelanjutan.

Putri menegaskan bahwa upaya pencegahan yang dilakukan secara rutin dan terpadu akan memberikan manfaat jangka panjang bagi kesehatan masyarakat.

“Jika strategi pengendalian berbasis lingkungan dilakukan secara konsisten, risiko chikungunya dapat ditekan meski curah hujan tinggi terus terjadi akibat perubahan iklim,” tutupnya.

Penulis: Putri Suci Rulliyani
Magister Kesehatan Masyarakat, Universitas Lampung

Post a Comment for "Curah Hujan Tinggi Picu Risiko Chikungunya di Bandar Lampung, Ahli Ingatkan Penguatan Pengendalian Berbasis Lingkungan"