Seorang Wartawan Diduga Mengalami Penganiayaan di Kantor PSDKP Tahuna
Kepulauan Sangihe — Dunia jurnalistik di Kabupaten Kepulauan Sangihe kembali diguncang oleh kabar tak sedap. Seorang wartawan dari media daring TikamPost, bernama Mike Towira, diduga mengalami tindakan penganiayaan dan intimidasi saat berkunjung ke kantor Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Tahuna pada Kamis, 25 September 2025.
![]() |
| Seorang Wartawan Diduga Mengalami Penganiayaan di Kantor PSDKP Tahuna |
Peristiwa ini sontak menarik perhatian masyarakat dan komunitas pers di Sulawesi Utara. Dugaan kekerasan terhadap wartawan dinilai mencederai prinsip kebebasan pers yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Kasus ini kini tengah bergulir dan menjadi perhatian serius berbagai pihak, termasuk aparat penegak hukum, organisasi profesi wartawan, hingga pemerhati kebebasan sipil di daerah.
Kronologi Dugaan Penganiayaan
Dalam keterangannya kepada sejumlah wartawan, Mike Towira mengungkapkan bahwa dirinya mendatangi kantor PSDKP Tahuna bukan dalam konteks peliputan investigatif, melainkan kunjungan silaturahmi dan penjajakan kerjasama publikasi kegiatan lembaga tersebut. Ia menegaskan, niatnya murni untuk menjalin hubungan baik antara media lokal dan instansi pemerintah yang memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga sumber daya kelautan di perairan Sangihe.
“Saya datang dengan niat baik. Tujuannya ingin membangun komunikasi, memperkenalkan media kami, dan menawarkan kerjasama promosi program mereka. Tidak ada maksud lain,” ujar Mike.
Setibanya di kantor PSDKP yang berlokasi di Tahuna, Mike disambut oleh seorang staf bernama Steven Takapaha. Setelah berbincang ringan, Steven kemudian mengantarnya ke lantai dua, menuju ruang kerja Kepala Stasiun PSDKP untuk bertemu langsung. Setibanya di sana, Steven mengetuk pintu dan mempersilakan Mike masuk.
“Saya diantar oleh Pak Steven ke ruang kerjanya. Setelah diketuk, kemudian kami masuk. Kami sempat berjabat tangan dan berbincang singkat. Karena agak panas, saya membuka jaket, dan mungkin saat itu beliau melihat saya bertato,” cerita Mike.
Namun, momen santai itu seketika berubah tegang. Kepala Stasiun PSDKP, yang belum disebutkan namanya oleh Mike dalam laporannya, tiba-tiba marah dengan nada tinggi. Ia diduga berteriak dan memaki tanpa alasan jelas. Reaksi emosional itu membuat suasana ruang kerja menjadi kacau.
“Tiba-tiba beliau marah-marah dengan suara keras. Saya kaget, tidak tahu apa salah saya. Saat itu Pak Steven masuk dan mencoba melerai,” ujar Mike lagi.
Steven, menurut Mike, sempat memperingatkannya untuk tenang. Ia juga menyampaikan bahwa kepala PSDKP membawa senjata api, dan demi keselamatan, Mike diminta untuk turun dari lantai dua. Namun, situasi justru makin memburuk. Kepala PSDKP yang marah disebut turut mengejar Mike ke lantai bawah sambil berteriak kepada bawahannya untuk mencegah wartawan itu keluar dari area kantor.
“Beliau berteriak keras, ‘Jangan sampai dia keluar!’ Saya merasa terancam dan berusaha lari ke halaman depan. Tapi beberapa orang menghadang, ada yang membekap dari belakang, bahkan sempat dicekik,” ungkap Mike.
Dalam kondisi panik, Mike berusaha melepaskan diri hingga akhirnya berhasil keluar dari area kantor PSDKP. Ia mengaku beruntung karena ada warga sekitar yang melihat kejadian dan mencoba menolong serta menenangkannya. Dengan tubuh gemetar dan napas tersengal, Mike kemudian meninggalkan lokasi dan langsung menuju Polres Tahuna untuk membuat laporan resmi atas dugaan penganiayaan yang dialaminya.
Respons dari Pihak PSDKP
Pihak PSDKP Tahuna hingga kini belum memberikan keterangan resmi secara menyeluruh. Namun, staf yang disebut dalam kejadian, Steven Takapaha, ketika dihubungi media menegaskan bahwa dirinya siap memberikan kesaksian dan keterangan kepada pihak berwenang jika diminta.
“Saya siap memberikan keterangan. Hanya saja saat ini saya masih ada pekerjaan mendesak yang harus diselesaikan,” ujarnya singkat.
Sementara itu, beberapa sumber internal menyebutkan bahwa Kepala PSDKP juga telah dimintai klarifikasi oleh instansi pusat. Namun, hingga berita ini disusun, belum ada pernyataan resmi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selaku lembaga induk PSDKP mengenai dugaan keterlibatan bawahannya dalam kasus kekerasan tersebut.
Langkah Hukum dan Pendampingan Pers
Setelah kejadian, Mike didampingi sejumlah rekan wartawan dari berbagai media lokal mendatangi Polres Tahuna untuk membuat laporan polisi. Ia menuntut keadilan atas tindakan yang dianggap mencederai marwah pers dan melanggar hak asasi manusia.
“Saya datang ke Polres untuk melapor secara resmi. Ini bukan soal pribadi saya, tapi demi menjaga kehormatan profesi jurnalis di daerah,” tegas Mike di depan sejumlah wartawan yang mengawalnya.
Menurut informasi dari pihak kepolisian, laporan tersebut sudah diterima dan tengah dalam proses penyelidikan awal. Beberapa saksi dari pihak PSDKP dan masyarakat sekitar akan dipanggil untuk dimintai keterangan. Kapolres Tahuna juga menyatakan komitmennya untuk menangani kasus ini secara profesional dan transparan.
“Kami akan menindaklanjuti laporan sesuai prosedur hukum. Semua pihak akan kami dengar keterangannya,” ujar seorang perwira penyidik Polres Tahuna yang enggan disebutkan namanya.
Kecaman dari Organisasi Jurnalis
Kasus dugaan penganiayaan terhadap Mike mendapat sorotan luas dari berbagai organisasi profesi pers. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Manado melalui pernyataan resminya mengecam keras tindakan kekerasan terhadap jurnalis di wilayah kerja manapun.
“Apapun alasannya, kekerasan terhadap jurnalis tidak bisa dibenarkan. Kami mendesak aparat untuk mengusut kasus ini hingga tuntas,” ujar Ketua AJI Manado dalam siaran pers yang diterima Navigasi.in.
Senada dengan itu, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Sulawesi Utara juga menilai bahwa insiden ini mencoreng citra lembaga negara yang seharusnya menjadi mitra strategis media dalam menyampaikan informasi kepada publik.
“PSDKP adalah lembaga publik yang seharusnya terbuka terhadap media, bukan malah melakukan intimidasi. Kami akan mendampingi korban untuk memastikan hak-haknya terlindungi,” kata Ketua PWI Sulut.
Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers juga disebut telah menyiapkan pendampingan hukum terhadap Mike, termasuk dalam proses pemeriksaan di kepolisian dan kemungkinan langkah hukum lanjutan jika ada unsur pidana yang terbukti.
Konteks Lebih Luas: Kekerasan Terhadap Wartawan di Daerah
Kasus seperti yang dialami Mike Towira bukan pertama kali terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir, AJI dan LBH Pers mencatat peningkatan laporan kekerasan terhadap jurnalis, khususnya di daerah-daerah dengan intensitas pemberitaan tinggi terkait pengawasan sumber daya alam.
Pada tahun 2024, AJI Indonesia mencatat sedikitnya 84 kasus kekerasan terhadap jurnalis di berbagai wilayah Indonesia. Bentuknya bervariasi, mulai dari intimidasi verbal, pelarangan liputan, hingga penganiayaan fisik. Sebagian besar kasus melibatkan oknum aparat atau pejabat pemerintah daerah.
Menurut pengamat media, kekerasan terhadap jurnalis di daerah seringkali disebabkan oleh minimnya pemahaman pejabat terhadap fungsi pers, serta masih kuatnya budaya feodal dalam birokrasi lokal yang alergi terhadap kritik maupun sorotan media.
“Banyak pejabat yang belum terbiasa dengan transparansi. Ketika media datang membawa pertanyaan atau bahkan hanya ingin menjalin kerjasama, langsung dicurigai. Ini masalah mentalitas dan literasi media yang rendah,” ungkap Dr. Yopie Mandagi, dosen komunikasi Universitas Sam Ratulangi.
Kebebasan Pers di Indonesia: Antara Regulasi dan Realitas
Indonesia memang memiliki Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 yang menjamin kebebasan pers. Namun, di lapangan, perlindungan terhadap jurnalis masih sering diabaikan. Banyak kasus penganiayaan atau intimidasi terhadap wartawan berujung damai tanpa proses hukum jelas, atau bahkan tidak dilanjutkan karena tekanan dari pihak tertentu.
Menurut pakar hukum pers, Prof. Henry Suprapto, kasus seperti di Tahuna harus menjadi momentum penegakan hukum agar tidak terjadi pembiaran.
“Negara harus hadir. Kekerasan terhadap jurnalis bukan sekadar pelanggaran individu, tetapi serangan terhadap pilar demokrasi,” tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa lembaga seperti Dewan Pers seharusnya proaktif memberikan advokasi dan mendesak aparat penegak hukum agar serius menangani kasus semacam ini.
Reaksi Publik dan Dunia Maya
Berita tentang dugaan penganiayaan terhadap wartawan ini juga ramai diperbincangkan di media sosial. Tagar #SaveMikeTowira sempat trending di platform X (Twitter) dan Facebook wilayah Sulawesi Utara. Banyak netizen menyuarakan dukungan serta mendesak agar pelaku, siapapun dia, ditindak sesuai hukum.
“Ini memalukan. Seorang pejabat publik tidak pantas bersikap arogan terhadap wartawan. Apalagi sampai melakukan kekerasan,” tulis salah satu pengguna X.
Beberapa jurnalis muda di Manado bahkan menggelar aksi solidaritas di depan Polres Tahuna, membawa poster bertuliskan “Jangan Bungkam Pers” dan “Kekerasan Bukan Solusi”. Aksi damai itu berjalan tertib dan mendapat simpati warga sekitar.
Upaya Mediasi dan Tanggung Jawab Institusi
Meski laporan polisi telah dibuat, sejumlah tokoh masyarakat dan pejabat daerah berupaya mendorong mediasi agar ketegangan tidak meluas. Namun, Mike menegaskan bahwa dirinya tetap ingin proses hukum berjalan, meski tetap terbuka untuk berdialog.
“Saya tidak mau ada dendam pribadi. Tapi hukum harus ditegakkan. Kalau dibiarkan, akan terus terulang terhadap jurnalis lain,” tegasnya.
Pihak Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe melalui Dinas Kominfo juga menyatakan keprihatinan atas peristiwa tersebut dan mengingatkan agar setiap instansi membuka diri terhadap media. Kepala Dinas Kominfo bahkan berencana mengundang seluruh pimpinan lembaga vertikal di daerah untuk membahas etika komunikasi dan hubungan media.
Harapan dan Pesan bagi Dunia Jurnalistik
Peristiwa di PSDKP Tahuna menjadi pengingat bahwa profesi wartawan di daerah masih menghadapi risiko besar, terutama ketika berhadapan dengan oknum pejabat yang tidak memahami fungsi kontrol media. Namun, di balik itu, kejadian ini juga memperlihatkan solidaritas kuat antarwartawan, serta meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kebebasan pers.
“Kita tidak boleh takut. Jurnalis bekerja untuk kepentingan publik, dan itu harus terus dijaga,” ujar seorang rekan Mike yang turut mengawalnya saat membuat laporan di Polres Tahuna.
Sementara Mike sendiri berharap kejadian yang menimpanya bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak, terutama lembaga pemerintahan, agar lebih terbuka dan profesional dalam berinteraksi dengan media. Ia juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh rekan jurnalis, organisasi pers, dan masyarakat yang telah memberikan dukungan moral.
“Saya percaya keadilan masih ada. Saya juga percaya bahwa teman-teman media akan terus memperjuangkan kebenaran,” tutupnya dengan mata berkaca-kaca.
Penutup
Dugaan penganiayaan terhadap wartawan Mike Towira di kantor PSDKP Tahuna menjadi cermin buram hubungan antara pers dan lembaga publik di tingkat daerah. Kasus ini bukan hanya soal kekerasan fisik, tetapi juga tentang bagaimana negara memperlakukan profesi yang menjadi garda depan transparansi informasi.
Publik kini menanti keseriusan aparat penegak hukum dalam menuntaskan kasus ini. Sebab, jika dibiarkan, ketakutan dan tekanan terhadap jurnalis bisa menjadi ancaman nyata bagi kebebasan pers dan demokrasi lokal di Indonesia.
Navigasi.in akan terus memantau perkembangan kasus ini dan berkomitmen untuk menyuarakan kebenaran serta melindungi hak-hak jurnalis di seluruh pelosok negeri.
Laporan: Redaksi Navigasi.in | Editor: Tim Navigasi

Post a Comment for "Seorang Wartawan Diduga Mengalami Penganiayaan di Kantor PSDKP Tahuna"