Youtube

Dinkes Surabaya: 29 dari 34 Peserta Pesta Seks Sesama Jenis Positif HIV

Surabaya, Navigasi.in — Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya mengonfirmasi bahwa sebanyak 29 dari 34 pria yang ditangkap dalam penggerebekan pesta seks sesama jenis atau gay di sebuah hotel kawasan Ngagel, Wonokromo, Surabaya, dinyatakan positif HIV. Informasi tersebut disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Surabaya, Nanik Sukristina, setelah pihaknya melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap seluruh peserta pesta tersebut.

Dinkes Surabaya: 29 dari 34 Peserta Pesta Seks Sesama Jenis Positif HIV
Dinkes Surabaya: 29 dari 34 Peserta Pesta Seks Sesama Jenis Positif HIV


“Ya benar, ada yang positif HIV,” kata Nanik kepada wartawan, Kamis (23/10/2025). Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dengan menggunakan metode Rapid Test dan dikonfirmasi lebih lanjut dengan pemeriksaan laboratorium lanjutan untuk memastikan validitas hasilnya.

Dari 34 orang yang diperiksa, 29 di antaranya positif HIV. Menariknya, sebagian besar dari mereka diketahui bukan warga Surabaya, melainkan berasal dari luar kota bahkan luar provinsi. “Dari 34 orang diperiksa ada 29 yang positif. Sebagian besar luar kota,” ungkap Nanik.

Pemeriksaan Kesehatan dan Langkah Lanjutan

Usai penggerebekan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dari Polrestabes Surabaya, pihak Dinkes segera turun tangan untuk melakukan pemeriksaan penyakit menular seksual (PMS) dan HIV/AIDS. Langkah cepat ini merupakan bagian dari protokol penanganan kasus yang berpotensi menjadi klaster penularan baru di masyarakat.

Nanik menjelaskan bahwa pihaknya sudah berkoordinasi dengan Polrestabes Surabaya agar setiap individu yang dinyatakan positif HIV dapat segera mendapatkan pendampingan medis. “Kami berkoordinasi dengan Polrestabes untuk pemantauan pengobatan mengingat mereka masih dalam proses penyidikan,” ujarnya.

Menurutnya, Dinkes memiliki sistem pemantauan khusus bagi pasien HIV/AIDS agar tetap menjalani terapi antiretroviral (ARV) secara teratur. Dengan terapi tersebut, jumlah virus dalam tubuh dapat ditekan hingga tidak terdeteksi, sehingga risiko penularan ke orang lain dapat diminimalisir.

Kasus Pesta Seks dan Respons Masyarakat

Kasus pesta seks sesama jenis di Surabaya ini memicu kehebohan publik. Selain karena jumlah peserta yang cukup banyak, temuan tingginya angka positif HIV di antara mereka membuat masyarakat semakin waspada terhadap potensi penyebaran virus ini di lingkungan urban.

Pihak kepolisian menyebutkan bahwa penggerebekan dilakukan setelah menerima laporan dari masyarakat yang mencurigai adanya kegiatan mencolok di hotel tersebut. Setelah melakukan penyelidikan, petugas mendapati 34 pria yang tengah mengikuti kegiatan pesta seks tertutup dengan sistem undangan.

Beberapa peserta diketahui merupakan pekerja dari luar daerah, bahkan ada yang datang khusus dari Jakarta dan Bali. Aktivitas tersebut disinyalir sudah beberapa kali dilakukan dengan lokasi berpindah-pindah untuk menghindari pengawasan aparat.

Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya menyebutkan, para peserta dikenakan pemeriksaan sesuai hukum yang berlaku, termasuk potensi pelanggaran terhadap norma kesusilaan dan kesehatan masyarakat. “Kami masih mendalami jaringan penyelenggara kegiatan ini. Ada indikasi kegiatan serupa telah dilakukan sebelumnya,” ujarnya.

Fenomena HIV di Kota Surabaya

Surabaya termasuk dalam lima besar kota di Indonesia dengan jumlah kasus HIV tertinggi. Berdasarkan data Dinas Kesehatan, hingga pertengahan tahun 2025 tercatat lebih dari 14 ribu kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di wilayah ini. Angka tersebut menunjukkan adanya peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya, meskipun sebagian besar kasus baru ditemukan dari kalangan usia produktif 20–40 tahun.

Menurut Nanik, peningkatan jumlah kasus tidak selalu berarti penyebaran semakin parah, melainkan juga menandakan deteksi dini yang semakin baik. “Kami terus melakukan tes HIV di berbagai lapisan masyarakat, termasuk pelajar, ibu hamil, dan kelompok berisiko tinggi. Jadi angka tinggi ini juga menunjukkan bahwa banyak yang mulai sadar untuk melakukan tes,” jelasnya.

Namun, ia tak menampik bahwa gaya hidup berisiko, seperti hubungan seksual tanpa kondom dan berganti pasangan, menjadi penyebab utama penularan HIV di kota metropolitan seperti Surabaya. Oleh karena itu, Dinkes Surabaya terus memperkuat program edukasi dan pencegahan melalui berbagai kanal, termasuk media sosial, sekolah, dan fasilitas kesehatan masyarakat.

Kampanye Kesadaran dan Pencegahan

Pemerintah Kota Surabaya memiliki sejumlah program pencegahan HIV/AIDS yang terus digalakkan. Salah satunya adalah program “Surabaya Sehat Tanpa HIV 2030” yang menargetkan penurunan signifikan angka kasus baru dalam lima tahun ke depan.

Program ini menekankan pentingnya edukasi sejak dini, terutama kepada remaja dan kelompok usia produktif. Dinkes Surabaya secara rutin menggelar penyuluhan di sekolah-sekolah menengah, kampus, hingga tempat kerja. “Kami melakukan peningkatan edukasi dan kampanye pencegahan penularan HIV pada kelompok usia produktif seperti pelajar SMP, SMA/SMK sederajat, ibu hamil, dan calon pengantin,” ujar Nanik.

Kegiatan edukasi ini juga melibatkan tenaga kesehatan puskesmas, kader masyarakat, serta LSM yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi. Mereka memberikan informasi tentang cara penularan HIV, pentingnya tes dini, serta bagaimana menjalani hidup sehat bagi orang dengan HIV (ODHIV).

Tantangan Penanganan HIV di Masyarakat

Meskipun Surabaya telah memiliki infrastruktur kesehatan yang relatif baik, tantangan dalam penanganan HIV tetap besar. Salah satu kendalanya adalah masih adanya stigma sosial terhadap penderita HIV. Banyak masyarakat yang belum memahami bahwa HIV tidak menular melalui sentuhan, makanan, atau berbagi peralatan sehari-hari.

“Stigma ini membuat banyak orang enggan memeriksakan diri atau terbuka dengan status kesehatannya. Padahal semakin cepat didiagnosis, semakin baik peluang hidup sehat dengan terapi ARV,” jelas Nanik.

Selain itu, ada juga tantangan dari sisi perilaku masyarakat. Perubahan gaya hidup perkotaan, meningkatnya akses terhadap aplikasi kencan daring, serta pergaulan bebas menjadi faktor yang mendorong peningkatan risiko penularan HIV di kalangan muda.

Dalam konteks kasus pesta seks yang baru-baru ini terjadi, para peserta diduga mengenal satu sama lain melalui aplikasi daring khusus komunitas gay. Hal ini menunjukkan bahwa ruang virtual kini menjadi salah satu titik rawan penyebaran perilaku berisiko tinggi.

Langkah Pemerintah dan Koordinasi Antarlembaga

Pemerintah Kota Surabaya berkomitmen untuk menekan angka penularan HIV melalui kolaborasi lintas sektor. Selain Dinkes dan kepolisian, lembaga-lembaga seperti Dinas Sosial, Satpol PP, serta organisasi masyarakat juga dilibatkan dalam upaya ini.

“Pendekatan kami bukan hanya medis, tetapi juga sosial. Orang dengan HIV perlu dukungan moral, pekerjaan, dan lingkungan yang menerima agar mereka bisa menjalani hidup normal tanpa menularkan virus ke orang lain,” kata Nanik.

Dalam waktu dekat, Pemkot Surabaya juga berencana memperluas cakupan layanan konseling dan tes HIV di puskesmas. Saat ini, dari 63 puskesmas di Surabaya, 59 sudah menyediakan layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT). Targetnya, seluruh fasilitas kesehatan di kota ini dapat menjadi pusat layanan VCT yang aktif.

Selain itu, pemerintah juga akan memperkuat sistem pelaporan digital agar data kasus baru bisa cepat ditangani. Sistem ini memungkinkan pelacakan kasus berbasis wilayah, sehingga jika ditemukan klaster baru, Dinkes bisa langsung melakukan intervensi.

Perspektif Kesehatan Masyarakat

Pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Airlangga, dr. Retno S., mengatakan bahwa kasus seperti pesta seks sesama jenis yang diikuti banyak peserta merupakan “titik merah” dalam epidemiologi HIV. Ia menilai kejadian ini bisa menjadi refleksi penting bagi semua pihak tentang lemahnya pengawasan perilaku berisiko di masyarakat urban.

“Ini bukan soal orientasi seksual, tapi perilaku berisiko yang memungkinkan penyebaran penyakit menular seksual. Pemerintah harus mengambil pendekatan berbasis edukasi, bukan sekadar penindakan hukum,” katanya.

Retno menambahkan, penting bagi masyarakat untuk tidak menstigma pelaku, melainkan mendorong mereka mendapatkan perawatan dan edukasi yang benar. “Stigma hanya akan membuat orang semakin bersembunyi, padahal kita butuh keterbukaan untuk mencegah penularan lebih luas,” tegasnya.

Harapan dan Penutup

Kasus 29 pria positif HIV setelah pesta seks di Surabaya menjadi peringatan keras bagi masyarakat tentang pentingnya tanggung jawab dalam perilaku seksual. Pemerintah kota bersama aparat penegak hukum dan lembaga kesehatan kini bergerak cepat memastikan bahwa mereka yang terinfeksi mendapatkan pengobatan dan pendampingan.

Dinkes Surabaya menegaskan komitmennya untuk tidak hanya menangani kasus ini, tetapi juga memperkuat langkah-langkah pencegahan di seluruh lini masyarakat. “Kami tidak ingin kasus ini terulang. Surabaya harus menjadi kota yang sehat, aman, dan peduli pada kesehatan reproduksi warganya,” kata Nanik menutup pernyataan.

Pemerintah berharap masyarakat ikut berperan aktif dalam pencegahan HIV dengan cara melakukan tes rutin, menjaga perilaku hidup sehat, dan tidak mendiskriminasi siapa pun yang hidup dengan HIV. Edukasi dan empati menjadi dua kunci utama untuk menekan angka penularan sekaligus membangun lingkungan sosial yang inklusif dan sehat di Kota Pahlawan ini.


Reporter: Tim Navigasi.in
Editor: M. Daryono

#HIVSurabaya #PencegahanHIVAIDS #Navigasiin #KesehatanMasyarakat

Post a Comment for "Dinkes Surabaya: 29 dari 34 Peserta Pesta Seks Sesama Jenis Positif HIV"