Youtube

Sapuran: Kain Sarung Adat Lampung yang Sarat Makna dan Kini Langka

Navigasi.in – Di balik kekayaan adat dan budaya Lampung, terdapat sebuah kain tradisional yang memiliki kedudukan penting dalam ritual dan identitas perempuan beradat Pepadun, yakni Sapuran. Kain ini bukan sekadar sarung, melainkan simbol status, penghormatan terhadap tradisi, serta pengingat akan warisan leluhur yang semakin jarang ditemui di era modern. Kini, ketika pengrajinnya nyaris punah, keberadaan Sapuran semakin menjadi barang langka yang penuh makna sejarah.

Sapuran: Kain Sarung Adat Lampung yang Sarat Makna dan Kini Langka
Sapuran: Kain Sarung Adat Lampung yang Sarat Makna dan Kini Langka


Apa Itu Sapuran?

Sapuran adalah kain sarung tenun setengah berwarna merah atau merah marun dengan corak kotak-kotak (dan betupal) yang dikenakan oleh perempuan adat Pepadun. Berbeda dengan sarung biasa, Sapuran memiliki aturan pemakaian khusus, yakni hanya dikenakan separuh tubuh, mulai dari pinggang hingga lutut. Kain ini digunakan sebagai lapisan di antara Tapis Rajo Tunggal atau Tapis Lawet Andak dan kain Selapai.

Sapuran: Kain Sarung Adat Lampung yang Sarat Makna dan Kini Langka
Sapuran: Kain Sarung Adat Lampung yang Sarat Makna dan Kini Langka


Keunikan Sapuran juga terlihat dari tambahan hiasan berupa logam pada ujung kain bawahnya. Ketika uang logam dipasang pada bagian bawah, kain ini disebut sebagai Sapuran Rambai Ringgit. Contoh bersejarah yang terkenal adalah Sapuran dengan 16 keping koin 20 U$ tahun 1894, yang dipadukan dengan Selapai Telu berwarna putih, kuning, dan merah. Perpaduan warna dan logam tersebut menjadikan Sapuran bukan sekadar busana, tetapi karya seni dan simbol adat yang sangat kaya.

Kedudukan Sapuran dalam Adat Pepadun

Bagi masyarakat adat Pepadun, Sapuran bukan hanya pakaian, melainkan kewajiban adat. Perempuan dengan status Muli Bumi (anak gadis) dan Majew (perempuan dewasa) wajib mengenakan Sapuran dalam upacara adat tertentu, terutama pada Kughuk dan Turun Mandi. Pemakaian kain ini dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur serta penegasan identitas budaya.

Sapuran: Kain Sarung Adat Lampung yang Sarat Makna dan Kini Langka
Sapuran: Kain Sarung Adat Lampung yang Sarat Makna dan Kini Langka


Dalam beberapa kampung adat (aneg), terdapat aturan ketat mengenai penggunaan Sapuran. Misalnya, jika seorang Muli Makai mengikuti tarian adat Cangget tanpa mengenakan Sapuran, ia dapat dikenai sanksi adat berupa denda. Hal ini menegaskan betapa pentingnya kain ini sebagai syarat sahnya sebuah perayaan adat.

Sapuran dan Variasi Pemakaiannya

Pemakaian Sapuran sering kali dipadukan dengan busana lain, khususnya kebaya. Bila seorang perempuan mengenakan Sapuran Rambai Ringgit, maka ia biasanya akan memakai Kawai Kebaya Modifikasi Ibah Pungeu, yakni kebaya lengan pendek dengan bagian bawah sejajar pinggul. Sebaliknya, jika ia memakai kebaya lengan panjang (Kawai Kebaya Modifikasi Tijang Pungeu), maka ia bisa dikenai denda karena dianggap melanggar aturan adat.

Di kampung adat tertentu, apabila Sapuran tidak digunakan, maka perempuan tersebut harus mengenakan kebaya lain, yakni Kawai Kebaya Modifikasi Ibah Pungeu Rambai Ringgit, dengan panjang bagian bawah sejajar lutut. Aturan-aturan ini memperlihatkan betapa detail dan disiplin masyarakat adat dalam menjaga tata cara berpakaian dalam upacara adat.

Simbolisme Warna dan Motif Sapuran

Warna merah atau marun pada Sapuran bukanlah pilihan sembarangan. Warna ini diyakini melambangkan keberanian, semangat, dan keagungan. Dalam tradisi banyak masyarakat Nusantara, merah sering dikaitkan dengan energi kehidupan dan kekuatan spiritual. Corak kotak-kotak dan betupal yang menghiasi Sapuran menandakan keteraturan, harmoni, serta hubungan yang erat antaranggota masyarakat adat.

Sementara itu, tambahan logam berupa koin asing seperti dolar Amerika tahun 1894 pada Rambai Ringgit menegaskan hubungan antara budaya lokal dengan interaksi global di masa lalu. Fakta bahwa koin asing dijadikan hiasan menunjukkan bahwa masyarakat Lampung telah memiliki akses perdagangan dan interaksi dengan dunia luar sejak abad ke-19.

Peran Sapuran dalam Upacara Adat

Dalam konteks upacara adat, Sapuran memegang peran sangat penting. Beberapa acara yang menuntut kehadiran Sapuran antara lain:

  • Upacara Kughuk – perayaan adat yang menandai fase kehidupan tertentu, di mana Muli dan Majew wajib mengenakan Sapuran.
  • Turun Mandi – ritual khusus bagi bayi atau anak kecil yang pertama kali dibawa keluar rumah, biasanya dipimpin oleh tokoh adat.
  • Cangget – tari adat yang melibatkan anak gadis, di mana ketiadaan Sapuran bisa berujung pada sanksi adat.

Dengan demikian, Sapuran adalah bagian integral dari ekspresi budaya, bukan sekadar pelengkap busana.

Sanksi Adat dan Pentingnya Kepatuhan

Masyarakat adat Lampung Pepadun memiliki aturan ketat dalam hal berpakaian pada acara resmi. Ketaatan terhadap aturan ini mencerminkan penghormatan kepada leluhur serta menjaga wibawa adat. Tidak mengenakan Sapuran pada acara tertentu dapat dianggap sebagai pelanggaran serius. Denda adat yang dikenakan biasanya berupa benda berharga, hewan ternak, atau uang, tergantung kesepakatan di kampung adat tersebut.

Sanksi ini tidak hanya dimaksudkan sebagai hukuman, tetapi juga pengingat bahwa adat istiadat harus dijunjung tinggi demi menjaga identitas kolektif masyarakat.

Sapuran Kini Menjadi Barang Langka

Sayangnya, seiring perkembangan zaman, Sapuran semakin sulit ditemui. Tidak ada lagi pengrajin yang secara khusus menenun kain ini. Proses pembuatannya yang rumit dan minimnya permintaan membuat produksi Sapuran berhenti sejak lama. Kini, kain Sapuran hanya muncul dalam acara adat besar yang jarang dilakukan, misalnya Gawi yang bisa berlangsung setiap 10, 20, bahkan 40 tahun sekali.

Keberadaan Sapuran yang terbatas membuatnya semakin berharga, bukan hanya dari sisi budaya, tetapi juga dari sisi koleksi sejarah. Banyak keluarga adat yang menyimpan Sapuran sebagai pusaka turun-temurun, sehingga jumlahnya semakin terbatas di masyarakat.

Tantangan Pelestarian Sapuran

Pelestarian Sapuran menghadapi tantangan besar. Generasi muda Lampung banyak yang tidak lagi mengenal detail tentang kain ini. Keterampilan menenun Sapuran pun nyaris punah. Tanpa regenerasi pengrajin, besar kemungkinan Sapuran hanya akan tinggal dalam arsip sejarah dan koleksi museum.

Upaya pelestarian bisa dilakukan melalui beberapa langkah, seperti:

  • Dokumentasi – merekam bentuk, motif, warna, dan sejarah Sapuran untuk disimpan dalam arsip budaya.
  • Revitalisasi Tenun – melatih kembali generasi muda untuk menenun Sapuran, meski dengan adaptasi modern.
  • Pameran Budaya – menghadirkan Sapuran dalam event budaya lokal maupun nasional agar lebih dikenal.
  • Kolaborasi Kreatif – memadukan unsur Sapuran ke dalam fashion modern tanpa menghilangkan makna aslinya.

Sapuran dan Identitas Lampung

Sapuran bukan sekadar kain sarung, melainkan simbol identitas perempuan adat Pepadun. Melalui kain ini, perempuan menegaskan kedudukannya dalam adat dan memperlihatkan keterikatan dengan leluhur. Kehadiran Sapuran menjadi pengingat bahwa budaya Lampung memiliki kekayaan simbolik yang dalam, yang membedakan mereka dari daerah lain di Indonesia.

Kesimpulan

Sapuran adalah kain adat Lampung yang sarat makna, aturan, dan nilai budaya. Dari warnanya yang merah marun, corak kotak-kotaknya, hingga keberadaan Rambai Ringgit dengan koin bersejarah, semuanya mencerminkan keunikan masyarakat Lampung. Sayangnya, keberadaannya kini semakin langka karena sudah tidak diproduksi lagi. Oleh sebab itu, diperlukan langkah-langkah nyata untuk melestarikan Sapuran sebagai warisan budaya yang tak ternilai.

Semoga tulisan ini memberi wawasan lebih luas tentang betapa pentingnya Sapuran bagi masyarakat Lampung, serta menjadi pengingat agar kita semua ikut serta menjaga kelestarian adat dan budaya Nusantara.

Semoga bermanfaat, dan adat lestari.

Post a Comment for "Sapuran: Kain Sarung Adat Lampung yang Sarat Makna dan Kini Langka"