Indonesia di Tengah Tantangan Urbanisasi: 33 Juta Penduduk Hidup di Kawasan Kumuh Tahun 2025
Navigasi.in — Jakarta. Data terbaru tahun 2025 menunjukkan bahwa Indonesia kini menempati posisi ke-5 dunia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang hidup di kawasan kumuh terbanyak. Sekitar 33 juta jiwa warga Indonesia tercatat tinggal di lingkungan dengan kondisi tidak layak huni, sanitasi buruk, serta infrastruktur yang minim.
![]() |
Indonesia di Tengah Tantangan Urbanisasi: 33 Juta Penduduk Hidup di Kawasan Kumuh Tahun 2025 |
Laporan tersebut menyoroti betapa kompleksnya tantangan urbanisasi yang dihadapi Indonesia saat ini. Meski pertumbuhan ekonomi nasional menunjukkan peningkatan, kesenjangan sosial dan perumahan tetap menjadi masalah mendasar di banyak kota besar.
Kawasan Kumuh di Dunia: Indonesia di Posisi Kelima
Secara global, India masih menduduki posisi teratas dengan jumlah penduduk di kawasan kumuh mencapai sekitar 262 juta jiwa. Negara ini diikuti oleh Nigeria dengan 64 juta jiwa, Bangladesh 41 juta, dan Pakistan 40 juta. Indonesia berada di posisi kelima dengan 33 juta jiwa penghuni kawasan kumuh.
Setelah Indonesia, terdapat Brasil dengan 32 juta jiwa, Republik Demokratik Kongo (31 juta), Ethiopia (22 juta), Filipina (21 juta), dan Kenya (10 juta). Data ini menegaskan bahwa permasalahan permukiman kumuh bukan hanya terjadi di negara miskin, tetapi juga di negara berpendapatan menengah seperti Indonesia dan Brasil.
Namun, perbedaan utama terletak pada laju urbanisasi dan kemampuan pemerintah dalam menyeimbangkan pembangunan kota dengan kebutuhan dasar masyarakat.
Urbanisasi Cepat, Tapi Tak Seimbang
Indonesia saat ini mengalami tingkat urbanisasi yang sangat pesat. Lebih dari 57% penduduk tinggal di wilayah perkotaan pada tahun 2025, naik signifikan dibanding dua dekade lalu. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, dan Bandung menjadi magnet bagi migrasi dari desa-desa.
Sayangnya, pertumbuhan penduduk kota tidak diiringi oleh peningkatan infrastruktur dan penyediaan perumahan yang memadai. Banyak warga pendatang yang tidak mampu menyewa atau membeli rumah di kawasan formal akhirnya membangun hunian di lahan-lahan kosong, bantaran sungai, atau area industri yang tak berizin. Dari sinilah kawasan kumuh baru tumbuh setiap tahun.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memperkirakan, kebutuhan rumah di Indonesia mencapai lebih dari 12 juta unit hingga 2030, namun realisasi pembangunan masih tertinggal jauh. Program perumahan rakyat dan subsidi memang ada, tetapi daya serapnya terbatas dan tidak merata di semua wilayah.
Potret Kumuh di Kota-Kota Besar
Jakarta masih menjadi contoh paling jelas dari paradoks pembangunan Indonesia. Di balik gedung-gedung pencakar langit Sudirman dan Kuningan, terdapat kampung-kampung padat seperti di Tanah Abang, Tambora, dan Kampung Pulo. Di sana, rumah-rumah berdempetan tanpa ventilasi, jalan sempit, serta saluran air yang kotor menjadi pemandangan sehari-hari.
Di Surabaya, kawasan kumuh juga tumbuh di sekitar pelabuhan dan bantaran sungai. Sementara di Medan, Makassar, dan Palembang, fenomena serupa terlihat di permukiman sekitar pasar tradisional dan kawasan industri lama.
Menurut data Bappenas, lebih dari 60% kawasan kumuh di Indonesia berada di kota-kota pesisir. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan urbanisasi paling besar terjadi di wilayah yang menjadi pusat ekonomi dan perdagangan.
Penyebab Utama: Ketimpangan dan Keterbatasan Akses
Tingginya angka kawasan kumuh tidak bisa dilepaskan dari dua faktor utama: ketimpangan ekonomi dan akses yang terbatas terhadap layanan dasar.
Masih banyak masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak memiliki akses terhadap perumahan formal karena harga tanah yang melambung. Di sisi lain, tata ruang perkotaan belum mampu mengakomodasi kebutuhan tempat tinggal bagi kelompok rentan. Akibatnya, banyak warga membangun rumah seadanya di lahan ilegal atau sempadan sungai.
Sanitasi dan air bersih juga menjadi masalah serius. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa 18% rumah tangga di kawasan perkotaan belum memiliki akses terhadap air bersih, sementara 26% masih menggunakan fasilitas sanitasi tidak layak. Kondisi ini memperburuk kualitas hidup, memicu penyakit menular, dan memperbesar risiko lingkungan.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Kehidupan di kawasan kumuh membawa konsekuensi sosial yang kompleks. Kemiskinan perkotaan sering kali bersifat turun-temurun karena minimnya kesempatan pendidikan dan pekerjaan layak. Banyak anak-anak di kawasan kumuh yang harus membantu orang tua bekerja atau bahkan berhenti sekolah lebih awal.
Dari sisi ekonomi, produktivitas tenaga kerja di kawasan kumuh juga relatif rendah karena kondisi kesehatan dan lingkungan yang tidak mendukung. Padahal, kelompok ini justru menjadi tulang punggung sektor informal — mulai dari pedagang kecil, tukang ojek, buruh bangunan, hingga pekerja rumah tangga.
Di sisi lain, kawasan kumuh kerap menjadi sasaran penggusuran tanpa solusi permanen. Ketika warga digusur tanpa rencana relokasi yang layak, mereka hanya berpindah dari satu kawasan kumuh ke kawasan kumuh lainnya. Siklus ini menciptakan “perpindahan kemiskinan” yang sulit diakhiri.
Upaya Pemerintah dan Tantangan
Pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai program untuk mengurangi kawasan kumuh, di antaranya:
- Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) yang dimulai sejak 2016 dan terus diperluas hingga kini. Program ini menargetkan pengurangan kawasan kumuh perkotaan hingga 0 hektare.
- Program Rumah Layak Huni (RLH) bagi masyarakat berpenghasilan rendah melalui bantuan stimulan pembangunan dan perbaikan rumah.
- Pembangunan rumah susun sewa (rusunawa) bagi buruh, mahasiswa, dan warga miskin di perkotaan.
- Kolaborasi dengan pemerintah daerah dalam penyediaan lahan dan infrastruktur dasar seperti air, listrik, dan sanitasi.
Namun, berbagai program tersebut masih menghadapi kendala klasik: keterbatasan anggaran, tumpang tindih regulasi, dan lemahnya koordinasi lintas sektor. Di beberapa kota, perbaikan kawasan kumuh justru terhambat oleh status kepemilikan lahan yang tidak jelas.
Urban planner dari Universitas Indonesia, Dr. Mira Anindya, menilai bahwa persoalan utama bukan hanya soal pembangunan fisik, tapi juga pendekatan sosial. “Kita tidak bisa hanya memindahkan warga kumuh ke rusun. Harus ada program pemberdayaan ekonomi agar mereka bisa mandiri dan tidak kembali ke kawasan informal,” ujarnya.
Pendekatan Inovatif: Smart Kampung dan Urban Renewal
Beberapa daerah di Indonesia mulai mencoba pendekatan baru dalam penataan kawasan kumuh. Misalnya, program Smart Kampung di Banyuwangi dan konsep Kampung Deret di Jakarta. Program ini berfokus pada perbaikan infrastruktur tanpa memutus kehidupan sosial masyarakat yang sudah lama tinggal di sana.
Selain itu, muncul pula model urban renewal yang mengedepankan kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Melalui skema ini, kawasan kumuh diubah menjadi lingkungan hunian terpadu dengan fasilitas publik, ruang hijau, dan akses transportasi modern. Contohnya proyek peremajaan kawasan Kalijodo dan Kampung Akuarium di Jakarta Utara.
Pendekatan semacam ini dianggap lebih manusiawi dan berkelanjutan karena melibatkan warga sebagai subjek, bukan objek pembangunan.
Tantangan di Era Perubahan Iklim
Perubahan iklim menambah dimensi baru dalam masalah permukiman kumuh. Banyak kawasan kumuh berada di wilayah yang rawan banjir, longsor, atau rob. Naiknya permukaan air laut mengancam hunian di pesisir seperti Jakarta Utara, Semarang, dan Makassar.
Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), lebih dari 6 juta penduduk kawasan kumuh hidup di daerah rawan bencana. Kondisi rumah yang rapuh dan padat membuat risiko korban jiwa meningkat saat terjadi bencana alam.
Oleh karena itu, penataan kawasan kumuh kini tidak hanya menyangkut aspek sosial dan ekonomi, tetapi juga ketahanan lingkungan. Pemerintah didorong untuk mengintegrasikan kebijakan perumahan dengan strategi adaptasi perubahan iklim.
Peran Swasta dan Masyarakat
Pemerintah memang memegang peran utama, namun peran swasta dan masyarakat juga tak kalah penting. Banyak lembaga nonpemerintah dan komunitas lokal yang melakukan inisiatif revitalisasi kawasan kumuh secara mandiri.
Di Surabaya misalnya, komunitas Urban Care bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat untuk membangun taman komunitas di tengah permukiman padat. Di Jakarta, gerakan warga seperti Kampung Akuarium Bersatu menjadi contoh bagaimana masyarakat bisa memperjuangkan hak tempat tinggal sekaligus berpartisipasi dalam penataan kota.
Sektor swasta pun mulai dilibatkan melalui program tanggung jawab sosial (CSR), baik dalam bentuk pembangunan infrastruktur kecil, pemberdayaan ekonomi warga, maupun pelatihan keterampilan kerja.
Belajar dari Negara Lain
Beberapa negara berkembang berhasil menurunkan angka kawasan kumuh secara signifikan melalui kebijakan terintegrasi. Misalnya, India dengan program Jawaharlal Nehru National Urban Renewal Mission (JNNURM) yang memperbaiki jutaan rumah rakyat miskin di kota besar.
Di Brasil, program Favela-Bairro berhasil mengubah permukiman kumuh di Rio de Janeiro menjadi lingkungan layak huni dengan infrastruktur modern tanpa menggusur penduduknya. Sementara di Vietnam, pemerintah mengintegrasikan program perumahan rakyat dengan skema kredit mikro bagi keluarga berpenghasilan rendah.
Model-model tersebut bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia, asalkan disesuaikan dengan kondisi lokal dan struktur sosial yang khas.
Proyeksi ke Depan
Jika laju urbanisasi terus meningkat tanpa penanganan yang efektif, jumlah penduduk kawasan kumuh di Indonesia bisa mencapai lebih dari 40 juta jiwa pada 2030. Namun, jika kebijakan penataan kota berjalan konsisten dan inklusif, jumlah tersebut bisa ditekan hingga di bawah 25 juta jiwa dalam satu dekade ke depan.
Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan sinergi antara pemerintah pusat, daerah, swasta, dan masyarakat. Selain pembangunan fisik, aspek sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi juga harus menjadi prioritas utama.
Pemerintah juga diharapkan memperluas akses kepemilikan rumah bagi warga berpenghasilan rendah melalui sistem kredit mikro, penyediaan tanah murah, dan reformasi agraria perkotaan.
Refleksi: Kota yang Layak Huni untuk Semua
Kawasan kumuh bukan hanya soal estetika kota, tapi juga tentang keadilan sosial dan hak asasi manusia. Setiap warga negara berhak hidup dalam lingkungan yang sehat, aman, dan bermartabat. Oleh karena itu, menata kawasan kumuh sejatinya adalah upaya membangun masa depan yang lebih inklusif bagi seluruh rakyat Indonesia.
Indonesia memiliki potensi besar untuk keluar dari daftar negara dengan kawasan kumuh terbesar di dunia, asalkan reformasi kebijakan perumahan dilakukan secara serius dan berkelanjutan. Keberhasilan ini akan menjadi cerminan kemajuan bangsa — bahwa pertumbuhan ekonomi tidak boleh hanya dinikmati oleh segelintir orang, tetapi juga harus memberikan ruang hidup yang layak bagi semua.
Kesimpulan
Dengan 33 juta penduduk yang hidup di kawasan kumuh pada tahun 2025, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menata masa depan perkotaan. Data tersebut bukan sekadar angka, melainkan alarm sosial bagi semua pihak.
Jika langkah-langkah reformasi perumahan, tata ruang, dan pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan konsisten, Indonesia berpeluang besar memperbaiki kualitas hidup jutaan warganya dan keluar dari stigma sebagai negara dengan kawasan kumuh terbesar kelima di dunia.
Pada akhirnya, pembangunan sejati bukan sekadar membangun gedung tinggi, melainkan membangun manusia dan lingkungannya secara berimbang.
Post a Comment for "Indonesia di Tengah Tantangan Urbanisasi: 33 Juta Penduduk Hidup di Kawasan Kumuh Tahun 2025"