Anggagh Lampung: Simbol Kebesaran Adat Pepadun
Navigasi.in - Lampung merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki warisan budaya sangat kaya. Salah satu identitas yang kuat melekat pada masyarakat adat Lampung, khususnya di lingkungan Pepadun, adalah pakaian adatnya. Dalam setiap acara adat, pakaian yang dikenakan bukan hanya berfungsi sebagai penutup tubuh, melainkan juga mengandung nilai simbolis yang berkaitan erat dengan status sosial, kedudukan adat, serta filosofi hidup masyarakat Lampung.
![]() |
Anggagh Lampung: Simbol Kebesaran Adat Pepadun |
Di antara ragam pakaian adat Lampung, terdapat satu busana perempuan yang dikenal dengan nama Anggagh. Anggagh merupakan penutup kepala khusus bagi perempuan yang berstatus Bebai Mighul atau Mighul, yaitu perempuan yang telah menikah secara adat dalam sistem kekerabatan Lampung Pepadun. Pemakaian Anggagh tidak bisa dilakukan sembarangan, melainkan hanya pada upacara adat tertentu yang penuh nilai sakral.
Sejarah dan Asal Usul Anggagh Lampung
Anggagh sudah dikenal sejak berabad-abad lalu sebagai bagian dari busana adat perempuan Lampung. Tradisi pemakaian Anggagh erat kaitannya dengan sistem adat dan kepemimpinan di masyarakat Pepadun. Dalam sistem adat ini, dikenal jabatan Penyimbang (pemimpin persekutuan adat) serta Pegawo (pemegang peran dalam struktur adat). Seorang perempuan yang menikah dengan Penyimbang akan menyandang status sebagai Bebai Mighul, sementara perempuan yang menikah dengan Pegawo akan disebut Mighul.
Anggagh kemudian lahir sebagai simbol busana yang membedakan kedudukan adat tersebut. Penutup kepala ini biasanya dibuat dari bahan kuningan, perak, atau bahkan emas, melambangkan kemuliaan sekaligus status sosial yang tinggi dalam masyarakat. Seiring perkembangan zaman, bentuk dan variasi Anggagh tetap dipertahankan meskipun dalam beberapa acara adat kini disesuaikan dengan kondisi masyarakat modern.
Bentuk dan Komponen Anggagh
Anggagh berbentuk penutup kepala berukuran cukup besar yang dikenakan dengan cara dililitkan Kain Sebagi. Kain Sebagi sendiri adalah kain khas Lampung yang bercorak unik dan memiliki nilai seni tinggi. Pemakaian Anggagh dilengkapi dengan busana adat lain, di antaranya:
- Kawai Rajo – Baju model kebaya panjang berbahan bludru hitam atau merah.
- Sarung Tapis Tuho – Sarung khas Lampung yang ditenun dengan benang emas.
- Kalung Sabik Inuh – Kalung tradisional yang melengkapi keanggunan perempuan Lampung.
Kombinasi busana ini menjadikan penampilan perempuan yang mengenakan Anggagh terlihat sangat anggun, berwibawa, dan menunjukkan jati diri sebagai bagian penting dari masyarakat adat.
Makna Status Bebai Mighul dan Mighul
Bebai Mighul
Istilah Bebai Mighul merujuk pada perempuan yang telah menikah secara adat dengan seorang Penyimbang. Perempuan dengan status ini memiliki kedudukan tinggi karena menjadi Tualo Anau atau permaisuri seorang pemimpin adat. Proses pernikahan adat dilakukan di atas Lunjuk Balak atau Serai Serumpun, yang melambangkan keabsahan dan kehormatan pernikahan tersebut.
Mighul
Sementara itu, Mighul adalah istilah bagi perempuan yang menikah secara adat dengan seorang Pegawo. Kedudukannya berada di tempat suami, sehingga secara adat ia menjadi Inggeman atau istri dari seorang Pegawo. Meski statusnya berbeda dengan Bebai Mighul, perempuan Mighul tetap berhak mengenakan Anggagh dalam acara adat tertentu.
Filosofi dan Nilai Simbolis Anggagh
Pemakaian Anggagh bukan hanya sekadar busana. Di balik bentuknya yang besar dan megah, terdapat filosofi mendalam yang mencerminkan kehidupan masyarakat Lampung. Anggagh melambangkan kebesaran, keanggunan, serta penghormatan terhadap adat. Pemakaian Anggagh juga menegaskan peran perempuan dalam menjaga kehormatan keluarga dan adat istiadat.
Bahan Anggagh yang terbuat dari kuningan, perak, atau emas mencerminkan nilai kemuliaan, keberanian, dan kemakmuran. Sementara lilitan Kain Sebagi menunjukkan keterikatan yang kuat antara perempuan dengan adat, budaya, dan lingkungannya.
Proses Pemakaian Anggagh dalam Upacara Adat
Pemakaian Anggagh biasanya dilakukan pada momen-momen sakral, seperti upacara pernikahan adat, pengangkatan gelar adat, dan perayaan besar masyarakat Pepadun. Proses pemakaian dilakukan secara hati-hati dengan melibatkan sesepuh atau tokoh adat, karena setiap detail busana memiliki aturan dan tata cara tersendiri.
Dalam prosesi pernikahan adat, misalnya, seorang perempuan yang berstatus Bebai Mighul akan dipakaikan Anggagh oleh ibu-ibu atau perempuan senior dalam keluarga besar. Proses ini dianggap sebagai simbol bahwa ia telah resmi menjadi bagian dari keluarga suaminya sekaligus menjadi sosok yang dihormati di lingkungan adat.
Anggagh dalam Perspektif Modern
Meski modernisasi telah memengaruhi banyak aspek kehidupan, Anggagh tetap bertahan sebagai simbol adat Lampung. Kini, busana Anggagh sering ditampilkan dalam festival budaya, pameran seni, dan kegiatan promosi pariwisata Lampung. Kehadirannya tidak hanya memperkuat identitas masyarakat Lampung, tetapi juga memperkenalkan kekayaan budaya Nusantara kepada dunia.
Generasi muda Lampung pun semakin menunjukkan minat untuk melestarikan Anggagh. Banyak komunitas seni dan budaya di Lampung yang mengajarkan cara memakai Anggagh serta menjelaskan makna filosofisnya. Hal ini menjadi bentuk nyata pelestarian budaya di tengah arus globalisasi.
Kesimpulan
Anggagh Lampung bukan sekadar penutup kepala, melainkan simbol kebesaran adat masyarakat Pepadun. Dipakai oleh perempuan dengan status Bebai Mighul atau Mighul, Anggagh menjadi tanda penghormatan, keanggunan, dan kedudukan adat. Di balik bentuknya yang megah, tersimpan nilai-nilai filosofis yang menjunjung tinggi kehormatan, kemuliaan, serta kelestarian adat Lampung.
Dengan terus dilestarikan, Anggagh akan selalu menjadi bagian dari identitas budaya Lampung yang membanggakan, sekaligus warisan berharga bagi generasi mendatang. Tabik.
Penulis: Tim Redaksi Navigasi.in
#budayalampung #pakaianadat #navigasiin
Post a Comment for "Anggagh Lampung: Simbol Kebesaran Adat Pepadun"