Kritik Pedas Dokter Tan Shon Yet terhadap Program Makan Bergizi Gratis: Pangan Lokal Harus Jadi Prioritas
NAVIGASI.in – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai salah satu proyek unggulan pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia kembali menuai sorotan. Dalam sebuah audiensi bersama Komisi IX DPR pada Senin (22/9), ahli gizi masyarakat terkemuka, Dokter Tan Shon Yet, melontarkan kritik tajam terkait implementasi program ini. Kritik tersebut tidak hanya menyentuh aspek teknis penyajian makanan, tetapi juga menyangkut isu ketahanan pangan nasional, pemerataan distribusi, hingga keberlanjutan ekonomi bagi petani lokal.
![]() |
Kritik Pedas Dokter Tan Shon Yet terhadap Program Makan Bergizi Gratis: Pangan Lokal Harus Jadi Prioritas |
Program MBG dirancang dengan tujuan mulia: memastikan setiap anak usia sekolah mendapatkan asupan nutrisi yang cukup sehingga mampu belajar dengan optimal, terhindar dari stunting, dan berdaya saing tinggi di masa depan. Namun, menurut Dokter Tan, cita-cita tersebut akan sulit tercapai jika menu yang disajikan justru lebih banyak mengandalkan bahan pangan impor dan produk olahan yang kurang sesuai dengan budaya makan serta kebutuhan gizi anak Indonesia.
Kritik terhadap Menu: Burger dan Spageti Dinilai Tidak Tepat
Dalam paparannya, Dokter Tan menyebutkan bahwa menu yang diberikan di sejumlah sekolah, seperti burger dan spageti, terlalu bergantung pada tepung terigu dan gandum. Kedua bahan tersebut mayoritas masih diimpor karena tidak diproduksi secara masif di Indonesia. “Kita harus berhenti menciptakan ketergantungan pada bahan pangan impor jika ingin program ini berkelanjutan,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa konsumsi tepung terigu berlebihan tidak selalu memberikan efek positif pada kesehatan anak. Sebaliknya, pola makan yang didominasi karbohidrat sederhana dari tepung olahan dapat memicu risiko obesitas, menurunkan sensitivitas insulin, serta berpotensi menyebabkan gangguan metabolisme jangka panjang. “Anak-anak kita butuh asupan protein berkualitas, serat, vitamin, dan mineral dari sumber pangan yang beragam. Nasi, jagung, singkong, ikan, telur, kacang-kacangan, dan sayur-sayuran lokal adalah sumber gizi yang lebih sesuai,” kata Dokter Tan.
Isu Pemerataan: “Kastanisasi” dalam Distribusi MBG
Kritik lain yang disorot adalah fenomena yang ia sebut sebagai “kastanisasi”, yaitu perbedaan kualitas menu antara sekolah-sekolah yang dekat dengan pusat pemerintahan dan yang berada di daerah pelosok. Menurutnya, sekolah di kota besar sering mendapatkan menu dengan kualitas tinggi, misalnya ayam fillet, susu segar, dan buah impor. Sebaliknya, sekolah di daerah terpencil justru hanya menerima makanan dengan kualitas rendah, bahkan ia menyebut ada yang “hanya terasa seperti karton”.
Fenomena ketidakmerataan ini menimbulkan masalah baru: ketimpangan gizi. Anak-anak di perkotaan yang sudah relatif memiliki akses lebih baik terhadap makanan bergizi justru menerima tambahan gizi yang lebih lengkap, sementara anak-anak di desa, yang sering kali paling membutuhkan, hanya mendapatkan asupan seadanya. “Ini seperti memperlebar jurang ketimpangan. Bukannya menghapus stunting, malah menciptakan stunting baru di daerah-daerah,” ujar Dokter Tan.
Perspektif Ekonomi: Peluang untuk Petani Lokal
Salah satu poin penting yang diangkat dalam audiensi adalah potensi program MBG untuk mendukung perekonomian lokal. Dokter Tan berpendapat bahwa jika pemerintah mengalokasikan dana MBG untuk membeli bahan pangan dari petani dan nelayan lokal, maka dampaknya akan jauh lebih besar. “Kita punya jutaan petani singkong, petani jagung, peternak ayam, nelayan kecil. Bayangkan jika pemerintah membeli langsung hasil panen mereka untuk program ini, maka perputaran ekonomi desa akan hidup,” jelasnya.
Ia mencontohkan beberapa daerah yang sukses menjalankan program makan bergizi berbasis pangan lokal. Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, menu berbasis jagung, ikan kering, dan sayur lokal terbukti mampu meningkatkan status gizi anak. Di Jawa Barat, penggunaan tempe, tahu, dan telur sebagai menu utama juga terbukti lebih murah namun bergizi seimbang. “Program MBG bisa menjadi alat untuk mendorong ketahanan pangan nasional jika bahan bakunya berasal dari rakyat,” tambahnya.
Masalah Logistik dan Pengawasan
Selain isu menu dan pemerataan, persoalan logistik juga menjadi sorotan. Distribusi makanan ke daerah-daerah terpencil sering terlambat, sehingga kualitas makanan menurun saat diterima. Ada laporan makanan basi, nasi yang menggumpal, atau lauk yang sudah tidak layak konsumsi. Hal ini bisa menurunkan minat anak untuk mengonsumsi makanan MBG.
Dokter Tan menegaskan pentingnya pengawasan ketat terhadap pelaksana di lapangan. “Jangan sampai anggaran triliunan rupiah hanya habis di atas kertas, tetapi anak-anak tetap lapar dan tidak mendapat gizi yang layak,” tegasnya. Ia menyarankan agar pemerintah menggandeng perguruan tinggi, organisasi profesi gizi, dan masyarakat sipil untuk ikut mengawasi kualitas makanan dan proses distribusi.
Kritik sebagai Masukan untuk Perbaikan
Walaupun kritik yang disampaikan cukup keras, Dokter Tan menegaskan bahwa tujuannya bukan untuk menjatuhkan program MBG, melainkan agar program tersebut benar-benar bermanfaat. “Saya mendukung sepenuhnya program makan bergizi gratis. Tapi harus ada perbaikan serius agar sasaran tercapai,” ujarnya.
Ia merekomendasikan agar pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap menu yang disajikan, memastikan penggunaan bahan pangan lokal, memperbaiki distribusi agar lebih adil, dan meningkatkan transparansi anggaran. “Program ini bisa menjadi warisan positif jika dijalankan dengan benar. Tapi bisa menjadi bencana jika hanya sekadar proyek seremonial,” tandasnya.
Reaksi DPR dan Pemerintah
Pernyataan Dokter Tan mendapat tanggapan beragam dari anggota Komisi IX DPR. Beberapa anggota mengakui adanya masalah dalam implementasi MBG dan meminta Kementerian Kesehatan serta Kementerian Pendidikan untuk menindaklanjuti. “Kami akan mendorong revisi juknis program MBG agar lebih berpihak pada pangan lokal dan pemerataan,” ujar salah satu anggota DPR.
Sementara itu, pihak pemerintah melalui perwakilan Kementerian Kesehatan menyatakan siap menerima masukan dan akan melakukan evaluasi. “Kami berkomitmen memperbaiki kualitas menu dan distribusi. Saat ini kami sedang menyusun panduan baru agar lebih banyak memanfaatkan bahan pangan lokal,” kata perwakilan Kemenkes.
Peran Masyarakat dan Dunia Usaha
Tak hanya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha juga bisa berperan dalam mendukung MBG. Sekolah-sekolah bisa bekerja sama dengan koperasi petani untuk memasok sayuran segar setiap minggu. Perusahaan bisa berpartisipasi melalui program tanggung jawab sosial (CSR) dengan membantu penyediaan dapur sekolah yang higienis.
“Keterlibatan multi-pihak akan membuat program ini lebih berkelanjutan. Jangan hanya mengandalkan pemerintah pusat. Pemerintah daerah, swasta, bahkan orang tua murid bisa ikut mengawasi dan berkontribusi,” saran Dokter Tan.
Menu Ideal MBG: Contoh Penerapan Pangan Lokal
Dalam kesempatan tersebut, Dokter Tan juga memberikan contoh menu ideal MBG yang berbasis pangan lokal namun tetap bergizi seimbang. Misalnya, nasi jagung dengan ikan pindang, sayur bening bayam, sambal tomat, dan buah pepaya sebagai pencuci mulut. Untuk variasi, bisa juga disajikan nasi singkong, tempe bacem, tumis kacang panjang, dan susu kedelai.
Menu-menu seperti ini tidak hanya memenuhi kebutuhan gizi, tetapi juga mendukung perekonomian lokal dan mengajarkan anak-anak mencintai makanan khas Indonesia. “Kita tidak perlu meniru negara lain dengan burger atau pasta. Kita punya kekayaan kuliner yang jauh lebih sehat,” tutupnya.
Kesimpulan
Kritik yang dilontarkan Dokter Tan Shon Yet menjadi pengingat penting bahwa program besar seperti Makan Bergizi Gratis harus terus dievaluasi dan disesuaikan dengan kebutuhan nyata masyarakat. Fokus pada pangan lokal, pemerataan distribusi, kualitas makanan, serta pemberdayaan petani dan nelayan adalah kunci agar program ini benar-benar berdampak.
Dengan perbaikan berkelanjutan, MBG berpotensi menjadi salah satu program revolusioner yang mengubah masa depan generasi Indonesia. Namun jika dibiarkan berjalan tanpa kontrol, ia bisa berubah menjadi sekadar formalitas yang tidak menyelesaikan masalah gizi bangsa.
#MakanBergiziGratis #GiziAnak #KetahananPangan #NavigasiNews
Post a Comment for "Kritik Pedas Dokter Tan Shon Yet terhadap Program Makan Bergizi Gratis: Pangan Lokal Harus Jadi Prioritas"