Youtube

Bank Indonesia Cetak Uang Lebih Banyak untuk Dukung Asta Cita Prabowo: Dukungan Ekonomi atau Ancaman Inflasi?

Navigasi.in – Bank Indonesia (BI) kembali menjadi sorotan publik setelah Gubernur BI Perry Warjiyo mengumumkan langkah berani untuk mendukung program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto. Melalui skema burden sharing bunga Surat Berharga Negara (SBN) dengan Kementerian Keuangan, BI akan berbagi beban bunga sebesar 50:50 dan memperluas kebijakan moneter ekspansif. Kebijakan ini bertujuan untuk mendanai program perumahan rakyat, Koperasi Desa Merah Putih, serta mempercepat pertumbuhan ekonomi kerakyatan.

Bank Indonesia Cetak Uang Lebih Banyak untuk Dukung Asta Cita Prabowo: Dukungan Ekonomi atau Ancaman Inflasi?
Bank Indonesia Cetak Uang Lebih Banyak untuk Dukung Asta Cita Prabowo: Dukungan Ekonomi atau Ancaman Inflasi?

Namun, di balik semangat mendukung pembangunan, muncul pula kekhawatiran mengenai potensi dampak inflasi dan risiko kestabilan sistem keuangan jika kebijakan pencetakan uang dilakukan secara berlebihan. Apakah kebijakan ini benar-benar menjadi penyelamat perekonomian nasional atau justru menciptakan ancaman baru bagi daya beli masyarakat?

Kebijakan Burden Sharing: Apa dan Mengapa?

Skema burden sharing yang dijalankan BI bukan hal baru. Sejak pandemi COVID-19, BI sudah melakukan pembelian SBN langsung dari pemerintah untuk mendukung pembiayaan APBN. Namun, kali ini kebijakan tersebut diperluas dengan komitmen yang lebih besar: BI melanjutkan pembelian SBN dari pasar sekunder senilai sekitar Rp200 triliun. Dana ini kemudian dialokasikan untuk berbagai program ekonomi kerakyatan, termasuk perumahan murah dan koperasi desa.

Menurut Perry Warjiyo, langkah ini sejalan dengan mandat BI untuk menjaga stabilitas moneter sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi. “Kami memastikan kebijakan moneter yang ekspansif tetap dijalankan secara prudent untuk menjaga inflasi tetap terkendali, sementara kebutuhan pembiayaan pembangunan rakyat terpenuhi,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta.

Dampak Terhadap Jumlah Uang Beredar

Kebijakan ini secara praktis meningkatkan jumlah uang beredar di masyarakat. Dengan BI membeli SBN dari pasar sekunder, likuiditas dalam sistem perbankan bertambah signifikan. Data terbaru menunjukkan nilai Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) melonjak dari Rp254 triliun pada akhir 2023 menjadi Rp782,96 triliun per Juni 2025. Kenaikan ini menunjukkan upaya BI dalam menyerap kembali likuiditas agar tidak terlalu berlebihan dan memicu inflasi yang tak terkendali.

Selain SRBI, BI juga memanfaatkan instrumen moneter lainnya seperti reverse repo SBN dan Sukuk Bank Indonesia (SukBI) untuk menyeimbangkan likuiditas. Dengan cara ini, BI berupaya agar peningkatan jumlah uang beredar tidak langsung memicu kenaikan harga barang dan jasa secara drastis.

Potensi Risiko Inflasi

Meski BI optimistis mampu menjaga inflasi, sejumlah ekonom mengingatkan potensi risiko yang harus diwaspadai. Inflasi yang tinggi dapat menggerus daya beli masyarakat dan memicu ketidakstabilan harga pangan, energi, dan kebutuhan pokok lainnya. Apalagi, di tengah ketidakpastian global, tekanan harga bisa datang dari berbagai sisi, termasuk kenaikan harga minyak dunia, pelemahan nilai tukar rupiah, dan gangguan pasokan pangan akibat perubahan iklim.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, menyebut kebijakan ini ibarat “pisau bermata dua”. Di satu sisi mendukung pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain berpotensi menimbulkan overheating jika tidak dikendalikan. “Yang perlu diwaspadai adalah ketika pencetakan uang berlebihan membuat permintaan meningkat, tapi pasokan barang dan jasa tidak mampu mengimbangi, maka harga akan naik,” ujarnya.

Sinergi Fiskal-Moneter: Kunci Kesuksesan

Pemerintah dan BI menegaskan bahwa sinergi kebijakan fiskal dan moneter menjadi kunci keberhasilan program ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani menambahkan bahwa dana hasil burden sharing akan diarahkan pada program produktif, bukan sekadar belanja konsumtif. Dengan demikian, diharapkan output ekonomi meningkat, daya beli masyarakat membaik, dan multiplier effect yang dihasilkan jauh lebih besar.

“Kita tidak boleh mengulangi kesalahan masa lalu di mana pembiayaan defisit dilakukan tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap inflasi. Program ini harus benar-benar mendorong sektor produktif seperti pertanian, industri kecil-menengah, dan perumahan rakyat,” kata Sri Mulyani.

Respons Pasar dan Investor

Pengumuman kebijakan ini mendapat respons beragam dari pasar keuangan. Yield obligasi pemerintah sempat turun tipis karena meningkatnya keyakinan pasar bahwa BI siap menjaga kestabilan likuiditas. Namun, di sisi lain, nilai tukar rupiah sedikit tertekan akibat kekhawatiran investor asing akan potensi lonjakan inflasi di masa depan.

Pelaku pasar modal berharap pemerintah mampu memberikan kepastian arah kebijakan agar tidak menimbulkan gejolak berlebihan. “Investor butuh kepastian. Selama BI bisa menunjukkan komitmen untuk menjaga inflasi di bawah target 3%, maka pasar akan tetap positif,” ujar analis pasar dari Mandiri Sekuritas.

Program Koperasi Desa Merah Putih

Salah satu program yang paling disorot adalah Koperasi Desa Merah Putih, yang disebut sebagai instrumen pemerataan ekonomi di tingkat desa. Program ini akan mendapatkan kucuran dana langsung dari hasil pembelian SBN oleh BI. Dana tersebut digunakan untuk membiayai usaha kecil, menyediakan modal kerja bagi petani, dan memperluas akses pembiayaan mikro.

Ekonom menilai program ini berpotensi meningkatkan inklusi keuangan di pedesaan. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada tata kelola yang baik dan pengawasan yang ketat. Jika salah kelola, dana ini berpotensi disalahgunakan dan justru menimbulkan moral hazard.

Kesimpulan

Kebijakan Bank Indonesia untuk mencetak uang lebih banyak melalui skema burden sharing jelas membawa harapan sekaligus tantangan. Di satu sisi, kebijakan ini mendukung visi Presiden Prabowo untuk membangun ekonomi kerakyatan dan mempercepat pemerataan pembangunan. Di sisi lain, risiko inflasi, pelemahan rupiah, dan ketidakpastian global menjadi ancaman yang tidak bisa diabaikan.

Keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada disiplin fiskal pemerintah, koordinasi erat antara BI dan Kementerian Keuangan, serta kemampuan menjaga ekspektasi inflasi tetap terkendali. Dengan pengawasan yang ketat, transparansi, dan partisipasi publik, kebijakan ini dapat menjadi motor penggerak ekonomi tanpa harus mengorbankan stabilitas makroekonomi.

Jika semua pihak bisa bekerja sama, langkah BI ini bisa menjadi contoh bagaimana bank sentral berperan aktif dalam mendukung pembangunan nasional. Namun jika gagal, risiko krisis moneter bisa kembali menghantui. Masyarakat tentu berharap skema ini benar-benar membawa manfaat nyata, bukan sekadar angka-angka di atas kertas.

Post a Comment for "Bank Indonesia Cetak Uang Lebih Banyak untuk Dukung Asta Cita Prabowo: Dukungan Ekonomi atau Ancaman Inflasi?"