100.000 Ton Beras Bulog Terancam Jadi Limbah, Kerugian Rp 1,2 Triliun Mengintai
NAVIGASI.in – Isu ketahanan pangan kembali menjadi sorotan publik setelah mencuat kabar bahwa lebih dari 100.000 ton beras impor yang tersimpan di gudang Perum Bulog berpotensi berubah status menjadi disposal atau tidak layak konsumsi. Nilai potensi kerugian akibat hal ini ditaksir mencapai Rp 1,2 triliun. Kondisi ini memicu kekhawatiran luas di masyarakat dan menimbulkan pertanyaan besar tentang pengelolaan stok beras nasional.
![]() |
100.000 Ton Beras Bulog Terancam Jadi Limbah, Kerugian Rp 1,2 Triliun Mengintai |
Stok Beras Menumpuk di Gudang
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, mengungkapkan bahwa stok beras impor yang masih tersimpan di gudang Bulog mencapai sekitar 1,7 hingga 1,9 juta ton. Beras-beras tersebut sebagian besar merupakan hasil impor tahun 2024 yang masuk ke Indonesia pada Februari 2024, sehingga saat ini sudah mendekati usia penyimpanan hampir dua tahun.
“Jika dihitung sejak masa penyimpanan di negara asal, maka usia beras tersebut sudah terlalu lama. Dua tahun itu sebenarnya sudah tidak layak dikonsumsi,” ujar Dwi Andreas dalam keterangannya di Gedung Ombudsman RI, Selasa (26/8/2025).
Kondisi ini tentu menjadi perhatian serius mengingat Bulog merupakan lembaga yang diberi mandat menjaga ketersediaan dan stabilitas harga beras di Indonesia. Penumpukan stok yang terlalu lama dapat mengakibatkan penurunan kualitas, perubahan aroma, bahkan potensi kontaminasi yang membuat beras tidak lagi aman untuk dikonsumsi.
Mengapa Stok Bisa Menumpuk?
Pertanyaan besar yang muncul adalah mengapa stok beras bisa menumpuk hingga jutaan ton. Menurut sejumlah pengamat, penumpukan stok ini terjadi karena kebijakan impor yang dilakukan secara masif pada tahun 2024 untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan global akibat fenomena El Nino dan gangguan rantai pasok.
Pada saat itu, pemerintah memutuskan untuk mengimpor dalam jumlah besar demi menjamin ketersediaan beras di pasar domestik. Namun, permintaan beras ternyata tidak setinggi perkiraan, ditambah produksi dalam negeri yang relatif stabil, sehingga stok tidak segera terserap oleh pasar.
Akibatnya, gudang Bulog penuh dengan beras impor yang usianya terus bertambah. Bulog sebenarnya telah menyalurkan sebagian melalui program bantuan sosial dan operasi pasar, tetapi volume yang tersisa masih terlalu besar.
Potensi Kerugian Rp 1,2 Triliun
Menurut perhitungan Dwi Andreas, jika 100.000 ton beras tersebut berubah status menjadi disposal, maka nilai kerugian yang harus ditanggung negara bisa mencapai Rp 1,2 triliun. Kerugian ini tidak hanya mencakup biaya pengadaan beras, tetapi juga biaya penyimpanan, distribusi, serta biaya tambahan untuk memusnahkan atau mengelola beras yang tidak layak konsumsi.
Kondisi ini dinilai sebagai alarm keras bagi pemerintah untuk segera mengevaluasi kebijakan impor dan manajemen stok pangan. Tanpa langkah cepat, kerugian bisa semakin besar jika stok yang lebih tua tidak segera dirotasi atau disalurkan.
Dampak Terhadap Masyarakat
Penumpukan beras impor yang berpotensi menjadi limbah bukan hanya soal kerugian finansial negara. Dampak lainnya adalah menurunnya kepercayaan publik terhadap pengelolaan pangan nasional. Banyak pihak yang mempertanyakan mengapa beras impor didatangkan dalam jumlah besar jika akhirnya hanya menumpuk di gudang.
Selain itu, jika beras yang menurun kualitasnya tetap disalurkan ke pasar, ada risiko kesehatan bagi masyarakat. Beras yang sudah lama disimpan berpotensi mengandung jamur, aflatoksin, atau kualitas yang menurun sehingga kurang layak untuk dikonsumsi.
Tanggapan Bulog
Pihak Bulog menyatakan bahwa mereka terus melakukan pemantauan terhadap kualitas beras yang ada di gudang. Jika ditemukan beras yang mulai mengalami penurunan mutu, Bulog akan melakukan proses reprocessing atau pengolahan ulang untuk memastikan beras tetap layak sebelum disalurkan.
Namun, proses reprocessing tentu membutuhkan biaya tambahan, dan kualitas beras setelah pengolahan ulang tetap tidak sebaik beras yang masih baru. Oleh karena itu, Bulog mendorong agar pemerintah mempercepat penyaluran stok lama melalui program bantuan sosial atau intervensi pasar agar tidak semakin menumpuk.
Seruan Evaluasi Kebijakan Impor
Sejumlah pakar pertanian dan ekonom meminta pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan impor pangan. Menurut mereka, impor seharusnya dilakukan secara lebih hati-hati dengan mempertimbangkan data produksi dalam negeri dan proyeksi konsumsi masyarakat.
“Kita perlu beralih ke sistem manajemen stok yang lebih dinamis dan berbasis data. Jangan sampai kita terus mengulang pola yang sama, mengimpor dalam jumlah besar tanpa strategi penyaluran yang jelas,” kata salah satu ekonom pangan nasional.
Selain itu, beberapa kalangan juga mendorong agar pemerintah meningkatkan sinergi antara Bulog, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan agar perencanaan pengadaan beras lebih terintegrasi. Dengan begitu, stok yang masuk dapat segera disalurkan sesuai kebutuhan.
Risiko Sosial-Politik
Masalah stok beras ini juga berpotensi menjadi isu politik, terutama menjelang tahun politik atau pemilu. Distribusi beras bantuan sosial sering kali dipolitisasi, sehingga kebijakan pengadaan dan penyaluran beras menjadi sorotan publik. Pemerintah perlu memastikan bahwa pengelolaan stok beras dilakukan secara transparan untuk menghindari tuduhan penyalahgunaan.
Langkah yang Bisa Dilakukan
- Percepatan Penyaluran: Memperbanyak program bantuan pangan, operasi pasar, dan subsidi untuk mempercepat keluarnya stok lama.
- Optimalisasi Manajemen Gudang: Meningkatkan sistem rotasi stok agar beras yang lebih lama keluar terlebih dahulu.
- Peningkatan Transparansi: Melaporkan secara berkala stok beras nasional agar masyarakat mengetahui kondisi pangan.
- Revisi Kebijakan Impor: Menyesuaikan kuota impor berdasarkan proyeksi produksi dan konsumsi secara akurat.
Kesimpulan
Kasus menumpuknya stok beras impor hingga jutaan ton dan potensi kerugian Rp 1,2 triliun menjadi pelajaran penting bagi manajemen pangan nasional. Pemerintah dan Bulog harus segera mengambil langkah strategis agar stok lama dapat segera disalurkan sebelum benar-benar tidak layak konsumsi.
Krisis ini juga menjadi momentum untuk memperbaiki sistem pengelolaan pangan, meningkatkan koordinasi antar lembaga, dan mengurangi ketergantungan pada impor yang berlebihan. Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat menghindari kerugian lebih besar dan memastikan ketersediaan beras tetap aman bagi seluruh masyarakat.
Laporan: Tim Redaksi Navigasi.in | Editor: Balaraja Group
Post a Comment for "100.000 Ton Beras Bulog Terancam Jadi Limbah, Kerugian Rp 1,2 Triliun Mengintai"