Ramai Film Animasi Nasional “Merah Putih One for All”: Dukungan Nasionalisme atau Proyek Setengah Hati?
Navigasi.in – Sebuah film animasi berjudul Merah Putih One for All mendadak menjadi bahan perbincangan panas di media sosial setelah unggahan seorang netizen bernama Muhammad Bayu Kurnia viral. Dalam unggahannya yang dibagikan melalui platform Facebook, Bayu mengajak masyarakat untuk mendukung dan menonton film tersebut. Ia menggambarkan film ini sebagai karya yang “sangat menginspirasi” dan mampu menumbuhkan jiwa nasionalisme anak-anak Indonesia.
![]() |
Ramai Film Animasi Nasional “Merah Putih One for All”: Dukungan Nasionalisme atau Proyek Setengah Hati? |
Namun, alih-alih mendapat sambutan hangat secara universal, justru muncul komentar-komentar pedas dan kritik tajam. Beberapa pengguna media sosial mempertanyakan kualitas film yang ditampilkan melalui cuplikan gambar yang beredar. Dalam tangkapan layar yang viral, tampak sebuah adegan animasi dengan grafis sederhana yang bagi sebagian warganet terlihat kurang profesional.
![]() |
Ramai Film Animasi Nasional “Merah Putih One for All”: Dukungan Nasionalisme atau Proyek Setengah Hati? |
Komentar pedas pun bermunculan. Seorang warganet bernama Sebut Saja Zaldi menuliskan, “Gw beneran gak tau apa yang lebih jelek daripada ini,” yang kemudian direspons pengguna lain dengan menyinggung kinerja pemerintah. Reaksi semacam ini menandakan kekecewaan publik yang lebih luas terhadap sejumlah proyek kebudayaan yang dinilai tak transparan dalam pengelolaan anggarannya.
Di tengah narasi nasionalisme yang dikedepankan oleh pihak pembuat film, tidak sedikit yang mencurigai bahwa produksi ini hanyalah proyek formalitas belaka. Ada yang menduga hanya sebagian kecil dari anggaran yang benar-benar digunakan untuk pembuatan film, sementara sisanya entah dialokasikan untuk apa. Komentar sinis pun bermunculan, seperti yang beredar di kolom balasan unggahan tersebut: “Bau-bau cuman 10% budgetnya doang yang dipake produksi. Sisanya di tilep.”
Film Nasionalisme yang Tak Membanggakan?
Secara umum, film bertema nasionalisme memang memiliki peran penting dalam membangun jati diri bangsa, terutama di kalangan generasi muda. Film yang bercerita tentang perjuangan, persatuan, dan keberagaman kerap menjadi sarana efektif untuk menanamkan nilai kebangsaan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua proyek produksi film nasional mampu memenuhi ekspektasi publik.
Dari segi visual, tangkapan gambar Merah Putih One for All menunjukkan kualitas animasi yang, menurut sebagian besar komentar warganet, lebih menyerupai proyek tugas akhir mahasiswa dibandingkan sebuah produksi film profesional berskala nasional. Karakter-karakter animasi tampak kaku, desain latarnya sederhana, dan pewarnaannya pun jauh dari standar animasi berkualitas tinggi. Beberapa orang mempertanyakan apakah produksi ini mendapat supervisi kreatif yang memadai atau hanya dikerjakan dengan target penyelesaian secepat mungkin demi mengejar momentum peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia.
Padahal, di era ketika teknologi animasi sudah berkembang pesat, bahkan studio-studio indie dalam negeri pun mulai menunjukkan taji dengan karya-karya yang lebih detail, film ini justru terkesan terburu-buru dan minim sentuhan artistik.
Mengapa Masyarakat Begitu Kritis?
Sikap kritis masyarakat tidak terjadi dalam ruang hampa. Selama bertahun-tahun, publik telah berkali-kali menyaksikan proyek-proyek bernuansa nasionalisme yang digelontor dana besar, tetapi hasilnya tidak sebanding. Kecurigaan bahwa proyek ini hanya sekadar formalitas menjadi semakin menguat ketika promosi film lebih banyak memainkan jargon nasionalisme ketimbang memamerkan kualitas produksinya.
Fenomena ini juga mencerminkan kejenuhan publik terhadap pengelolaan dana kebudayaan yang sering kali tak transparan. Saat masyarakat bersusah payah menciptakan karya kreatif dengan sumber daya terbatas, proyek-proyek “resmi” berskala pemerintah atau institusi besar justru seolah menyepelekan standar kualitas. Tidak heran jika banyak netizen yang merasa film ini lebih pantas menjadi simbol pemborosan anggaran ketimbang kebanggaan nasional.
Di sinilah paradoks muncul: pemerintah atau lembaga terkait berkali-kali menggaungkan slogan “Cintai Produk Anak Bangsa,” namun yang ditawarkan ke publik justru kualitas yang memancing cemoohan. Dalam jangka panjang, kondisi semacam ini berpotensi membuat publik semakin apatis terhadap ajakan mendukung karya lokal.
Dukungan dan Kritik: Dua Sisi yang Sama Penting
Walau banjir komentar negatif, tidak sedikit juga yang mencoba melihat dari sisi positif. Ada yang berpendapat bahwa proyek ini adalah langkah awal untuk memperkuat industri animasi nasional. Sejumlah pihak mengingatkan agar kritik disertai solusi dan edukasi agar ke depan para kreator lokal dapat berkembang.
Namun, bagi kebanyakan pengamat media, kualitas produksi tetap menjadi hal utama yang tak bisa dikompromikan. Karena jika produk akhirnya di bawah standar, bagaimana publik akan bangga dan tergerak untuk mendukung?
Sementara itu, sebagian penggiat industri kreatif justru menganggap kritik pedas sebagai cermin realitas yang perlu diperhatikan serius. Alih-alih menganggap cibiran sebagai bentuk kebencian, pihak terkait seharusnya melakukan evaluasi menyeluruh, mulai dari proses perencanaan, penganggaran, hingga eksekusi produksi.
Pertanyaan Besar soal Transparansi Anggaran
Salah satu narasi yang paling sering muncul dalam diskusi daring adalah kecurigaan soal anggaran. Publik bertanya: berapa sebenarnya dana yang dihabiskan untuk memproduksi film Merah Putih One for All? Mengapa dengan dana yang (diduga) besar, hasil akhirnya tidak mencerminkan nilai produksi yang profesional?
Sebagian netizen membandingkan dengan animasi lokal lain yang lahir dari studio independen dengan bujet terbatas, tetapi hasilnya lebih rapi dan kreatif. Dugaan bahwa hanya sebagian kecil dana yang benar-benar digunakan untuk produksi menjadi sorotan yang tak bisa diabaikan.
Ini bukan kali pertama publik bersuara lantang mengenai pengelolaan dana proyek kreatif berskala nasional. Dalam beberapa tahun terakhir, transparansi dan akuntabilitas anggaran menjadi tuntutan yang makin kuat, terutama setelah berbagai kasus dugaan penyalahgunaan dana publik terkuak.
Jika kecurigaan publik tidak dijawab secara terbuka, bukan tidak mungkin rasa percaya masyarakat pada proyek-proyek kebudayaan pemerintah akan semakin tergerus.
Kedepan: Menjawab Kritik dengan Pembuktian
Pada akhirnya, yang diperlukan bukan sekadar ajakan “ayo dukung karya anak bangsa,” tetapi juga pembuktian nyata bahwa karya tersebut memang pantas didukung. Film nasionalisme seharusnya menjadi kebanggaan bersama, bukan beban malu yang memancing olok-olok.
Jika benar ada kendala dalam produksi, pihak pembuat film bisa membuka ruang diskusi kepada publik, menjelaskan kendala teknis atau batasan yang dihadapi. Transparansi semacam itu akan lebih dihargai ketimbang promosi bombastis yang tak sejalan dengan kualitas.
Pihak terkait juga diharapkan berani mengevaluasi tim produksi, memastikan bahwa proyek kreatif nasional dikelola oleh profesional yang kompeten di bidangnya. Karena sekali citra buruk terlanjur melekat, akan sulit memulihkan kepercayaan publik.
Penutup
Kontroversi Merah Putih One for All mencerminkan bahwa masyarakat Indonesia semakin cerdas dan kritis dalam menilai karya kreatif yang menggunakan label nasionalisme. Dukungan publik tak bisa dibeli hanya dengan jargon patriotik, melainkan harus dibangun melalui integritas, transparansi, dan kualitas yang sungguh-sungguh.
Bila film ini memang diniatkan sebagai persembahan untuk memperingati HUT ke-80 Republik Indonesia, semestinya ada usaha maksimal agar publik merasa bangga ketika menyaksikannya di layar lebar. Jika tidak, tak heran jika komentar seperti “Gw beneran gak tau apa yang lebih jelek daripada ini” akan terus berdatangan, menjadi pengingat pahit bahwa nasionalisme bukan hanya slogan, tetapi tanggung jawab besar yang harus diemban dengan profesionalisme.
Post a Comment for "Ramai Film Animasi Nasional “Merah Putih One for All”: Dukungan Nasionalisme atau Proyek Setengah Hati?"