Merah Putih One For All: Ambisi Nasional, Eksekusi Ambyar Kritik Pedas Menjelang 17 Agustus
Menjelang Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, seharusnya gaung kebangsaan dan karya kebudayaan yang matang mewarnai publik. Alih-alih menjadi pencerahan, film animasi berjudul Merah Putih One For All — produksi Perfiki Kreasindo dan dijadwalkan tayang serentak 14 Agustus 2025 — berubah menjadi bahan ejekan dan kecaman warganet.
![]() |
Merah Putih One For All: Ambisi Nasional, Eksekusi Ambyar Kritik Pedas Menjelang 17 Agustus |
Trailer resmi yang dilepas beberapa hari lalu menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban: mengapa proyek berniat mulia ini terlihat kasar, terburu-buru, dan tidak layak jadi representasi pendidikan karakter bagi generasi muda?
Visi mulia, eksekusi rendah: paradoks yang menyakitkan
Produser Toto Soegriwo bersama sutradara Erdiarto dan co-sutradara Bintang mengklaim film ini dimaksudkan sebagai media edukasi karakter dan cinta tanah air, mengisahkan delapan anak dari berbagai suku yang membentuk “Tim Merah Putih” untuk mencari bendera pusaka yang hilang tiga hari sebelum 17 Agustus. Visi itu penting dan patut didukung: konten lokal yang menanamkan nilai kebangsaan kepada anak adalah kebutuhan nyata.
Sayangnya, niat baik tak selalu berbuah baik bila kualitas produksi tidak setara. Dari trailer terlihat animasi kaku, gerakan tokoh yang ‘robotik’, ekspresi wajah yang datar, dan latar yang terasa generik — tanda-tanda produksi yang tergesa-gesa atau minim sumber daya. Untuk sebuah film yang mengklaim berfungsi sebagai edukasi, elemen dasar seperti kualitas animasi, sutradara artistik, dan tata suara adalah pintu gerbang untuk menyampaikan pesan. Bila pintu ini bocor, pesan baik mudah runtuh menjadi bahan ejekan.
Kritik visual: mengapa penonton tak percaya?
Dalam industri animasi, penonton anak-anak bukan berarti mudah dipuaskan; justru sebaliknya — mereka jeli terhadap gerakan, warna, dan ekspresi. Trailer Merah Putih One For All gagal menunjukkan kelincahan visual tersebut. Beberapa poin yang patut menjadi catatan:
- Karakter terasa kaku: Gerakan berjalan, lari, dan interaksi antar tokoh tampak tidak natural, seolah karakter hanya dipindahkan dari satu titik ke titik lain tanpa in-between animation yang memadai.
- Desain wajah polos dan mirip-mirip: Ekspresi emosional minim; sulit membangun ikatan emosional antara penonton dan tokoh.
- Tekstur dan pencahayaan primitif: Latar hutan, batu, dan elemen lingkungan lain tampak datar dan tak berinteraksi dengan karakter.
Narasi dan pesan: edukasi atau propaganda?
Bila tujuan film adalah membentuk karakter, penceritaan harus lebih halus dan cerdas. Menyajikan simbolisme kebangsaan bukan berarti memaksakan klise-kliĊĦe atau menjadikan pelajaran moral sekadar dialog moral yang datar. Dari potongan cerita yang diumumkan, terdapat bahaya: moral yang terpaku pada slogan tanpa perjalanan karakter yang nyata akan terasa memaksa dan tidak berdampak.
“Film ini bukan sekadar hiburan, tetapi sarana edukasi karakter dan cinta tanah air bagi generasi muda,” — pernyataan produser Toto Soegriwo.
Pernyataan tersebut mulia, tetapi ketika nilai-nilai itu dituangkan ke layar dengan teknik yang lemah, maka efeknya bisa berbalik: anak-anak justru menertawakan atau mengabaikan pesan. Edukasi yang efektif lewat media harus melibatkan storytelling yang kuat, karakter yang tumbuh dan berubah, serta elemen sinematik yang membuat penonton peduli — bukan sekadar adegan yang terpampang seperti papan cerita tanpa nyawa.
Pendanaan publik dan akuntabilitas karya: pertanyaan yang tidak boleh diabaikan
Ada isu yang juga memicu kritik tajam: keterlibatan dana pemerintah. Ketika proyek yang bersumber dari dana publik diprioritaskan untuk produksi kreatif, wajar bila publik menuntut hasil yang transparan dan berkualitas. Rasa kecewa warganet bukan hanya soal estetik, melainkan soal tanggung jawab penggunaan uang rakyat untuk karya yang layak dan tahan uji.
Beberapa pertanyaan penting muncul: Bagaimana alokasi anggaran untuk produksi ini? Seberapa besar dana yang digunakan untuk pengembangan naskah, penyusunan storyboard, dan tim animasi? Apakah ada audit atau evaluasi kualitas di setiap tahap produksi? Tanpa jawaban transparan, publik akan semakin skeptis dan menganggap proyek ini semata politisasi budaya.
Perbandingan dengan standar industri: pelajaran dari karya lokal yang sukses
Bandingkan dengan animasi lokal lain yang mendapat pujian, seperti Jumbo — karya yang disebut-sebut menetapkan tolok ukur baru. Apa pembeda utama antara Jumbo dan Merah Putih One For All? Singkatnya: investasi pada proses kreatif (penulisan, desain, rigging), durasi development yang cukup, dan penggunaan talent teknis berpengalaman. Kesuksesan Jumbo menunjukkan bahwa audiens Indonesia menghargai kualitas — bukan sekadar simbol.
Tanggung jawab kreator: transparansi dan kerja keras lebih penting daripada klaim
Produser dan sutradara tentu berhak bermimpi; publik pun berhak menuntut profesionalisme. Untuk menambal reputasi, langkah-langkah konkret yang bisa diambil tim produksi meliputi:
- Merilis versi pembelajaran (making-of) yang menjelaskan proses kreatif, kendala, dan alokasi anggaran secara ringkas;
- Mengundang kritik konstruktif dari komunitas animator lokal sebelum rilis final;
- Mengadakan pemutaran terbatas untuk target demografis anak dengan sesi tanya jawab untuk mengecek efektivitas pesan edukatif;
- Menunda rilis bila diperlukan perbaikan substansial pada animasi dan audio, daripada memaksakan tanggal rilis demi momentum semata.
Bahaya terburu-buru demi momentum kemerdekaan
Memanfaatkan momen Hari Kemerdekaan untuk peluncuran karya nasional adalah strategi yang lazim. Namun, bila tanggal rilis menjadi prioritas utama dan kualitas dikompromikan, efek jangka panjangnya merugikan: karya tersebut bisa dicap remeh dan merusak reputasi pembuat serta lembaga yang mendanainya. Karya kebudayaan yang baik justru tahan terhadap waktu — bukan cepat dibuat kemudian cepat dilupakan karena kualitasnya buruk.
Refleksi publik: warganet sebagai pengawas kreativitas publik
Gelombang kritik di media sosial mencerminkan marahnya publik terhadap karya yang tidak profesional, terutama bila menyangkut dana publik dan pesan kebangsaan. Kritik itu bisa menjadi katalis positif bila tim produksi tidak defensif, melainkan membuka ruang dialog. Menyikapi kritik dengan sikap belajar akan lebih berbuah manfaat dibandingkan menutup telinga dan meneruskan rencana semula.
Kesimpulan: Dukung karya lokal, tapi tuntut standar
Kami mendukung semangat membuat karya lokal yang menanamkan nilai kebangsaan. Namun dukungan itu bukan bentuk pembelaan buta. Merah Putih One For All saat ini menunjukkan celah besar antara ambisi dan eksekusi. Jika proyek ini benar-benar ingin menjadi media edukasi yang efektif, tim harus bersikap transparan, bersedia memperbaiki, dan menempatkan kualitas sebagai prioritas utama — bukan sekadar kepentingan momentum.
Hingga pihak produksi memberi tanggapan yang konkret — bukan sekadar slogan — publik berhak mempertanyakan: apakah ini karya yang layak disebut bagian dari perayaan kemerdekaan? Atau hanya sekadar konten terburu-buru yang memanfaatkan kebanggaan nasional untuk menutupi kelemahan produksi?
Post a Comment for "Merah Putih One For All: Ambisi Nasional, Eksekusi Ambyar Kritik Pedas Menjelang 17 Agustus"