Youtube

Masak Mie dengan Kayu Bakar di Rumah Kosong: Sebuah Potret Perjuangan Hidup Sebatang Kara

Navigasi.in – Kamis, 7 Agustus 2025 | Di tengah era digital dan kemajuan teknologi, tak semua orang bisa menikmati kenyamanan hidup yang setara. Sebagian besar dari kita mungkin mengeluh tentang gaji yang tak cukup, pekerjaan yang melelahkan, atau rutinitas yang membosankan. Tapi di balik keluhan itu, ada kisah-kisah nyata yang justru membuat kita sadar, bahwa ada orang-orang yang tetap bertahan meski hidup tak memberinya banyak pilihan.

Masak Mie dengan Kayu Bakar di Rumah Kosong: Sebuah Potret Perjuangan Hidup Sebatang Kara
Masak Mie dengan Kayu Bakar di Rumah Kosong: Sebuah Potret Perjuangan Hidup Sebatang Kara

Seorang pemuda berusia 25 tahun membagikan potret sederhana namun begitu menyentuh: sepanci mie instan yang sedang dimasak di atas tungku kayu bakar, di dapur rumah kosong yang kumuh dan penuh arang. Bukan karena hobi, bukan pula demi konten unik — tapi karena itu satu-satunya cara untuk tetap hidup, untuk tetap makan, untuk tetap bertahan.

Satu-satunya Pilihan: Memasak dengan Kayu di Rumah Kosong

"Saya tinggal di rumah kosong, bekas milik keluarga dari teman saya. Diberi izin untuk menempati, meskipun gelap, kotor, dan sudah lama tak dihuni. Tapi saya bersyukur, setidaknya ada tempat untuk tidur, berteduh, dan berpijak," tulisnya dengan jujur.

Di ruang dapur yang gelap, dengan peralatan seadanya, ia menyusun kayu bakar, menyalakan api, dan mulai memasak mie — satu-satunya makanan yang bisa ia beli hari itu. Tak ada dapur modern, tak ada kompor gas, apalagi kulkas. Hanya semangat dan keinginan untuk tetap hidup, meski dengan segala keterbatasan.

“Kalau kalian mengeluh soal gaji hanya cukup untuk bayar kost atau untuk orang tua, jujur saya iri. Kalian masih punya pekerjaan, masih punya tempat tinggal, dan — yang paling penting — masih punya orang tua,” tulisnya lirih.

25 Tahun Hidup Tanpa Orang Tua: Sebatang Kara Sejak Kecil

Kisah ini tak hanya soal kemiskinan atau kekurangan materi, tapi juga tentang kesendirian yang panjang. Sejak usia lima tahun, ia telah kehilangan kedua orang tuanya. Hidup berpindah-pindah, bergantung pada kebaikan orang lain, dan terus mencari cara untuk bertahan hidup.

“Banyak teman saya yang baik, tapi saya sadar diri. Saya gak selalu berharap pada mereka. Saya hanya ingin bisa berdiri sendiri, meskipun kadang hati ini sedih kalau ingat perjuangan dari umur lima tahun sampai sekarang masih saja terus diberi cobaan,” lanjutnya.

Bagi sebagian orang, kesedihan seperti itu bisa berubah menjadi putus asa. Tapi tidak baginya. Dalam keterpurukan, ia memilih tetap bersyukur. Dalam kesendirian, ia memilih tetap tersenyum. Dalam kekurangan, ia tetap berbagi semangat untuk orang lain.

Hidup Itu Perjuangan: Realitas yang Tak Banyak Diceritakan

“Coba sini gabung sama saya. Mungkin kalian gak tahan dan menyerah,” tulisnya sambil sedikit bercanda. Tapi itu bukan tantangan, melainkan pengingat. Bahwa hidup tak selamanya adil. Bahwa di balik media sosial yang penuh gaya hidup mewah dan kemudahan, ada realitas keras yang jarang diangkat ke permukaan.

Ia bekerja, namun belum cukup untuk hidup layak. Gaji yang diterima belum bisa membayar tempat tinggal yang layak, apalagi makanan bergizi. Namun, ia memilih bersabar. Ia bertahan. Ia bahkan menunggu waktu gajian bulan depan, dengan harapan bisa mulai menyewa kost kecil untuk meninggalkan rumah kosong yang ia tempati sementara ini.

Mie Instan di Atas Tungku: Sebuah Simbol Perjuangan

Mungkin bagi sebagian orang, mie instan adalah makanan darurat, sekadar pengganjal lapar. Tapi bagi orang seperti dia, itu adalah simbol harapan. Ia tidak sekadar memasak — ia menunjukkan bahwa ia tidak menyerah. Bahwa selama masih bisa memasak dan makan, berarti masih ada harapan untuk bertahan.

“Yuk makan siang, walaupun cuma mie doang, tapi enak loh masakan saya heheh,” tulisnya di akhir. Dengan sedikit humor, ia mencoba menutupi pahitnya kenyataan. Tapi dari sana juga tampak bahwa semangatnya belum padam. Ia masih bisa tertawa. Masih bisa mengajak orang lain untuk bersyukur.

Pesan untuk Kita Semua: Jangan Pernah Menyerah

Ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah ini. Bahwa hidup tak selalu tentang apa yang kita miliki, tapi bagaimana kita menyikapi apa yang kita tidak punya. Bahwa kesuksesan bukanlah soal pencapaian materi semata, tapi soal keberanian untuk bangkit setiap kali jatuh.

Ia menutup kisahnya dengan kalimat sederhana namun dalam makna: “Buat teman-teman di mana pun kalian berada, jangan pernah menyerah ya. Semangat untuk hari ini. Semoga kalian sukses semua. Aamiin.”

Mereka yang Diam-diam Bertahan

Kisah ini mungkin hanya satu dari ribuan — bahkan jutaan — kisah perjuangan hidup di luar sana. Banyak orang hidup dalam senyap, dalam diam mereka menahan lapar, dalam gelap mereka menyalakan cahaya harapan. Mereka tidak selalu viral, tidak selalu tampil di layar media, tapi mereka nyata.

Tidak semua pejuang itu mengenakan seragam. Tidak semua pahlawan membawa senjata. Kadang, seorang pahlawan itu hanyalah seseorang yang masih mampu tersenyum di tengah kesendirian, seseorang yang tetap memasak mie di atas tungku meskipun perutnya kosong, seseorang yang menguatkan orang lain padahal dirinya sendiri sedang goyah.

Akhir Kata: Semoga Tuhan Menguatkan

Hidup memang berat. Tidak semua orang diberi start yang sama. Tapi dari kisah ini, kita belajar bahwa selalu ada ruang untuk bersyukur. Bahwa perjuangan tak selalu harus gemilang di mata orang lain — cukup kita tahu, bahwa kita tidak menyerah.

Untuk kamu yang sedang berjuang di tempat gelap dan sempit, kamu tidak sendiri. Dunia mungkin tidak melihatmu, tapi perjuanganmu tidak sia-sia. Dan untuk kamu, yang hari ini makan hanya dengan sepiring mie dan kayu bakar, ketahuilah bahwa banyak orang terinspirasi olehmu. Kamu adalah bukti bahwa manusia bisa luar biasa meski dalam keadaan paling sederhana.

Editor: Redaksi Navigasi.in | Dokumentasi: Foto dari kontributor anonim

Post a Comment for "Masak Mie dengan Kayu Bakar di Rumah Kosong: Sebuah Potret Perjuangan Hidup Sebatang Kara"