Gaji DPR RI Disebut Capai Rp 3 Juta Per Hari, Publik Ramai Beri Tanggapan
Navigasi.in — Pernyataan anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, TB Hasanuddin, mengenai besaran penghasilan anggota dewan kembali membuka perdebatan panas di ruang publik. Dalam sebuah wawancara, Hasanuddin mengungkapkan bahwa take-home pay atau penghasilan bersih anggota DPR RI, termasuk gaji pokok dan tunjangan, kini bisa menembus lebih dari Rp 100 juta per bulan. Jika dihitung rata-rata, nilainya setara sekitar Rp 3 juta per hari.
![]() |
Gaji DPR RI Disebut Capai Rp 3 Juta Per Hari, Publik Ramai Beri Tanggapan |
Pernyataan ini segera menjadi sorotan di media sosial. Banyak warganet merasa nominal tersebut kontras dengan kondisi mayoritas rakyat Indonesia yang masih berjuang dengan gaji UMR sekitar Rp 2,5 juta hingga Rp 5 juta per bulan. Sebagian lainnya menilai transparansi soal gaji pejabat publik memang penting agar rakyat tahu ke mana uang pajak mereka dialokasikan.
Rincian Gaji dan Tunjangan DPR
Berdasarkan data resmi Sekretariat Jenderal DPR RI, gaji pokok anggota DPR sebenarnya relatif kecil, yakni sebesar Rp 4,2 juta per bulan. Namun, angka ini hanya sebagian kecil dari total penghasilan mereka. Anggota DPR mendapatkan beragam tunjangan yang nilainya jauh lebih besar daripada gaji pokok. Beberapa komponen penghasilan tersebut antara lain:
- Gaji Pokok: Rp 4,2 juta per bulan.
- Tunjangan Jabatan: sekitar Rp 9,7 juta.
- Tunjangan Kehormatan: sekitar Rp 5,5 juta.
- Tunjangan Komunikasi Intensif: sekitar Rp 15 juta.
- Tunjangan Perumahan: sekitar Rp 50 juta (menggantikan rumah dinas).
- Bantuan Listrik dan Telepon: sekitar Rp 7 juta.
- Tunjangan Transportasi: sekitar Rp 5 juta.
Jika semua ditotal, penghasilan bulanan anggota DPR periode 2024–2029 diperkirakan bisa mencapai Rp 54 juta hingga Rp 80 juta per bulan, bahkan lebih bagi pimpinan DPR yang memiliki tunjangan khusus. Angka ini belum termasuk berbagai fasilitas seperti perjalanan dinas, insentif reses, serta jatah kunjungan kerja ke luar negeri.
Dari sinilah muncul narasi “gaji Rp 3 juta per hari” yang kemudian ramai diperbincangkan publik. Meski secara teknis angka tersebut bukan gaji pokok, melainkan hasil pembagian rata-rata dari total penghasilan per bulan, isu ini tetap menjadi bahan kritik tajam.
Publik Menyoroti Kesenjangan
Respons masyarakat terhadap isu ini beragam, namun sebagian besar bernada kekecewaan. Banyak warganet menyoroti kesenjangan antara penghasilan anggota DPR dengan kondisi ekonomi rakyat. Berikut beberapa komentar yang viral di media sosial:
- “Buruh kerja 12 jam sehari, gaji cuma Rp 3 juta sebulan. DPR tidur di sidang, gaji Rp 3 juta sehari.”
- “Kalau memang besar gajinya, tolong kinerjanya juga besar. Jangan malah produktif bikin kontroversi.”
- “Ini uang rakyat. Wajar rakyat menuntut transparansi. Jangan hanya disebut ‘untuk tugas legislasi’, tapi hasilnya minim.”
Kritik semacam ini muncul karena ada persepsi bahwa sebagian anggota DPR tidak menunjukkan kinerja sepadan dengan fasilitas dan penghasilan yang diterima. Potret anggota DPR yang tertidur saat sidang, absen rapat, atau terlibat kasus korupsi semakin memperburuk citra lembaga legislatif di mata rakyat.
Pandangan Pengamat Politik
Pengamat politik Ray Rangkuti menilai pernyataan Hasanuddin berpotensi memperlebar jarak emosional antara wakil rakyat dengan konstituennya. “Di tengah sulitnya ekonomi, publik sensitif terhadap pembicaraan soal gaji pejabat. Informasi ini bisa memperburuk citra DPR yang selama ini sudah rendah di mata masyarakat,” ujarnya.
Menurut Ray, penting bagi DPR untuk tidak hanya menjelaskan soal nominal gaji, tetapi juga menunjukkan kinerja nyata. “Kalau gaji tinggi tapi produktivitas rendah, maka publik wajar marah. Transparansi harus diimbangi dengan akuntabilitas,” tambahnya.
Argumen DPR: Gaji Sudah Sesuai Regulasi
Menanggapi kritik publik, TB Hasanuddin menegaskan bahwa penghasilan anggota DPR sudah diatur dalam peraturan pemerintah. Besaran gaji dan tunjangan, menurutnya, mencakup kompensasi untuk berbagai tugas, mulai dari penyusunan legislasi, fungsi pengawasan, hingga pelayanan konstituen di daerah pemilihan. “Jadi bukan sekadar gaji, tetapi paket kompensasi atas seluruh tugas anggota dewan,” kata Hasanuddin.
Pernyataan ini sejalan dengan argumen yang selama ini digunakan DPR, yakni bahwa gaji dan tunjangan besar diberikan agar anggota dewan bisa bekerja dengan layak, tidak tergoda korupsi, dan fokus menjalankan tugas. Namun, fakta di lapangan sering kali berbeda: sejumlah anggota DPR masih saja terjerat kasus korupsi meski fasilitas sudah berlimpah.
Sejarah Kenaikan Gaji DPR
Isu gaji DPR bukanlah hal baru. Sejak era reformasi, kenaikan tunjangan dan fasilitas anggota DPR selalu menuai polemik. Pada 2010 misalnya, tunjangan komunikasi intensif dinaikkan dengan alasan menyesuaikan kebutuhan komunikasi anggota DPR dengan konstituen. Pada 2016, tunjangan perumahan juga dinaikkan signifikan.
Setiap kali ada wacana kenaikan tunjangan, publik hampir selalu bereaksi keras. Hal ini karena rakyat merasa kenaikan tersebut tidak sebanding dengan kualitas legislasi yang dihasilkan. Bahkan data menunjukkan, dari target Program Legislasi Nasional (Prolegnas), DPR sering hanya mampu menyelesaikan sekitar 30–40 persen saja.
Kinerja Legislasi yang Dipertanyakan
Kritik terhadap DPR tidak hanya soal gaji, tetapi juga kinerja legislasi. Banyak undang-undang penting yang pembahasannya molor, sementara beberapa undang-undang yang disahkan justru kontroversial di masyarakat. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah fasilitas dan gaji tinggi benar-benar mendorong kinerja lebih baik?
Seorang peneliti dari LIPI pernah menyebut bahwa masalah utama DPR bukan pada kurangnya fasilitas, tetapi pada integritas dan komitmen politik. “Selama motivasi menjadi anggota DPR masih dominan karena faktor finansial dan kekuasaan, maka seberapa pun gajinya tidak akan otomatis meningkatkan kinerja,” ujarnya.
Perbandingan dengan Profesi Lain
Untuk memberi perspektif, mari bandingkan gaji DPR dengan profesi lain di Indonesia:
- Guru Honorer: Rp 500 ribu – Rp 1 juta per bulan.
- Buruh Pabrik: Rp 3 – 5 juta per bulan.
- Perawat Honorer: sekitar Rp 2 juta per bulan.
- PNS Golongan III: Rp 5 – 7 juta per bulan (termasuk tunjangan).
Perbandingan ini menunjukkan betapa besarnya kesenjangan antara gaji DPR dan mayoritas pekerja di Indonesia. Tidak heran jika isu Rp 3 juta per hari menimbulkan gelombang kritik luas.
Tuntutan Transparansi dan Reformasi
Sejumlah aktivis mendorong agar sistem penggajian DPR lebih transparan dan berbasis kinerja. Misalnya, tunjangan hanya diberikan jika anggota DPR memenuhi standar kehadiran, target legislasi, dan kualitas kerja. “Kalau target Prolegnas tidak tercapai, seharusnya ada pemotongan tunjangan. Itu lebih adil,” kata seorang aktivis antikorupsi.
Selain itu, publik juga meminta agar seluruh sidang DPR disiarkan secara terbuka dan daftar kehadiran dipublikasikan rutin. Dengan begitu, rakyat bisa menilai langsung siapa saja wakil yang benar-benar bekerja dan siapa yang hanya sekadar menikmati fasilitas.
Satir dan Meme sebagai Kritik Sosial
Bersamaan dengan viralnya pernyataan Hasanuddin, beredar pula meme-meme satir yang memperlihatkan anggota DPR tidur di ruang sidang dengan tulisan “Gaji Naik 3 Juta per Hari, Kerja Tidur Berjamaah”. Meme semacam ini menjadi medium kritik masyarakat yang kreatif, sekaligus menunjukkan ketidakpuasan terhadap kinerja legislatif.
Meski dikemas dalam humor, satir politik memiliki pesan serius: rakyat menuntut perubahan. Selama citra DPR masih identik dengan kemalasan, absen, dan korupsi, maka meme-meme satir akan terus bermunculan.
Kesimpulan
Pernyataan tentang penghasilan anggota DPR RI yang disebut bisa mencapai Rp 3 juta per hari kembali menegaskan adanya jurang besar antara rakyat dan wakilnya. Meskipun secara resmi gaji dan tunjangan diatur pemerintah, besarnya angka tetap menjadi masalah sensitif di tengah kondisi ekonomi sulit.
Bagi rakyat, gaji tinggi seharusnya sejalan dengan kinerja tinggi. Namun realitas di lapangan menunjukkan masih banyak persoalan: legislasi yang lambat, absensi tinggi, kasus korupsi, hingga citra negatif akibat perilaku tidak pantas di ruang sidang. Jika DPR ingin mengembalikan kepercayaan publik, mereka harus membuktikan bahwa setiap rupiah gaji yang diterima benar-benar dibalas dengan kerja keras dan integritas.
Isu ini menjadi pengingat bahwa demokrasi bukan hanya soal memilih wakil rakyat, tetapi juga mengawasi dan menuntut mereka untuk bekerja sesuai amanat konstitusi. Selama hal itu belum terwujud, wajar jika publik terus bertanya-tanya: apakah Rp 3 juta per hari benar-benar sepadan dengan kinerja wakil rakyat?
Reporter: Tim Navigasi.in
Post a Comment for "Gaji DPR RI Disebut Capai Rp 3 Juta Per Hari, Publik Ramai Beri Tanggapan"