Benarkah Bendera Merah Putih Warisan Majapahit? Mari Kita Bicara Jujur
Selama ini kita sering mendengar klaim seperti:
- “Merah putih sudah dipakai sejak zaman Majapahit.”
- “Bendera kita ini warisan leluhur, bahkan sudah ada sejak ribuan tahun lalu.”
Klaim ini diulang dalam buku sejarah, pidato resmi kenegaraan, dan bahkan disuarakan oleh tokoh seperti Mohammad Yamin, seorang sejarawan nasionalis yang berperan penting dalam membentuk narasi sejarah Indonesia modern.
Melacak Akar Klaim: Prasasti Kudadu (1294 M)
![]() |
Benarkah Bendera Merah Putih Warisan Majapahit? Mari Kita Bicara Jujur. |
Klaim bahwa merah putih berasal dari Majapahit sering mengacu pada Prasasti Kudadu, yang dibuat pada tahun 1294 M. Prasasti ini menceritakan pelarian Raden Wijaya, pendiri Majapahit, yang saat itu dikejar oleh pasukan Jayakatwang dari Kediri.
Salah satu bagian prasasti berbunyi:
“Han tumuli atur sang patih, ing panji-panji abrit saha petak tumekeng Daha.”
(Kemudian sang patih memberi laporan bahwa panji-panji merah dan putih telah sampai ke Daha/Kediri.)
Beberapa pihak kemudian menyimpulkan: “Ini bukti bahwa bendera merah putih sudah dipakai sejak masa Majapahit!” Tapi apakah benar demikian?
Fakta yang Lebih Kompleks
Penelitian kritis dari pakar epigrafi Jawa Kuno seperti Dr. Jarrah Sastrawan justru menunjukkan bahwa klaim tersebut sarat dengan kesalahpahaman. Berikut adalah tiga poin penting:
- Bendera merah dan putih dalam prasasti bukan milik Majapahit, melainkan milik musuh Raden Wijaya, yakni pasukan Kediri.
- Kejadian dalam prasasti terjadi pada 1292 M, sementara Majapahit baru didirikan tahun 1293 M. Artinya, bendera itu bahkan belum bisa disebut "panji Majapahit".
- Dalam teks asli disebutkan “abrit saha petak” (merah dan putih), bukan merah-putih sebagai satu kesatuan. Bisa jadi dua panji terpisah, bukan bendera kombinasi seperti yang kita kenal sekarang.
Kesimpulannya, tidak ada bukti langsung bahwa bendera merah putih seperti desain modern Indonesia digunakan oleh Majapahit. Klaim tersebut lebih berupa interpretasi simbolik ketimbang data sejarah yang konkret.
Lantas, Mengapa Narasi Ini Diteruskan?
Narasi merah putih warisan Majapahit dijaga dan diperkuat karena alasan ideologis. Ini adalah cara untuk menyakralkan simbol negara, memberi kesan bahwa bangsa ini telah ada sejak dulu dan bendera kita adalah lambang abadi perjuangan nenek moyang.
Dengan klaim semacam itu, setiap kritik terhadap negara bisa dengan mudah dilabeli sebagai penghinaan terhadap leluhur. Padahal yang terjadi adalah mitos dijadikan dasar ideologi.
Ibarat penjual keris palsu. Jika dikatakan itu keris biasa, siapa yang mau beli? Tapi jika dibilang “keris Majapahit”, maka harganya melonjak. Padahal tidak ada buktinya. Begitu pula dengan cara nasionalisme menjual kebanggaan—bukan berdasarkan kebenaran sejarah, tapi mitologi buatan.
Contoh Lain Manipulasi Sejarah Nasional
Kita sering mendengar:
- “Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun.” (Padahal tidak semua wilayah Indonesia dijajah selama itu)
- “Majapahit menguasai seluruh Asia Tenggara.” (Banyak didasarkan pada tafsir bebas dari Nagarakretagama)
- “Manusia purba nusantara sudah beradab dan memakai simbol merah putih.” (Tidak ada bukti arkeologis mendukung klaim ini)
Masalahnya bukan pada rasa bangga itu sendiri. Tapi pada ketidakjujuran terhadap sejarah. Sejarah yang manipulatif melahirkan generasi yang tidak kritis, gampang termakan propaganda, dan kehilangan pijakan ilmiah.
Bandingkan dengan Simbol Islam: Panji Rasulullah ﷺ
Di sisi lain, panji Rasulullah ﷺ terekam jelas dalam kitab-kitab hadits dan sirah:
- Panji berwarna hitam dan putih
- Tertulis kalimat tauhid: Lā ilāha illallāh Muhammadur Rasūlullāh
- Disebutkan oleh sahabat dan para ulama lintas generasi
Namun, ironisnya, panji Rasulullah ﷺ seringkali justru dipersekusi, dicurigai, dan dianggap ancaman. Sementara bendera yang asal-usulnya masih kabur justru disakralkan tanpa dasar ilmiah yang kuat.
Kesimpulan: Kita Butuh Kejujuran Sejarah
Bangsa ini terlalu besar untuk dibangun di atas mitos. Dan umat ini terlalu mulia untuk dibentuk oleh kebohongan sejarah. Kita tidak anti simbol, tidak anti kebangsaan. Tapi kita menuntut kejujuran. Bahwa sejarah bukan alat propaganda. Bahwa anak muda berhak tahu kebenaran, bukan dongeng yang didaur ulang demi agenda politik.
Jika kamu lelah disuguhi sejarah manipulatif dan ingin berpijak pada kebenaran yang datang dari wahyu, ikuti Ngopidiyyah. Di sini, kita tak sedang menjual kebanggaan kosong, tapi membongkar akar, dan merawat kesadaran umat.
Referensi:
- Muhammad Yamin, 6000 Tahun Sang Merah Putih (Jakarta: Balai Pustaka, 1958)
- Postingan Dr. Jarrah Sastrawan di Twitter
- Wawancara dengan Heri Purwanto, sejarawan Jawa Kuna
Post a Comment for "Benarkah Bendera Merah Putih Warisan Majapahit? Mari Kita Bicara Jujur"