Youtube

Tetangga Ingin Pinjam Lahan untuk Tanam Bawang dan Tembakau, Tapi Tak Ada Bagi Hasil: Potret Dilema Kebaikan di Pedesaan

NAVIGASI.in — Sebuah percakapan sederhana antara dua warga desa di sebuah pelosok Indonesia belakangan ini menjadi bahan renungan banyak orang. Ceritanya bermula dari seorang wanita pemilik sebidang lahan kosong yang didatangi tetangganya dengan maksud ingin meminjam lahan itu untuk ditanami bawang, tembakau, atau tanaman lain yang sedang musim.

Tetangga Ingin Pinjam Lahan untuk Tanam Bawang dan Tembakau, Tapi Tak Ada Bagi Hasil: Potret Dilema Kebaikan di Pedesaan
Tetangga Ingin Pinjam Lahan untuk Tanam Bawang dan Tembakau, Tapi Tak Ada Bagi Hasil: Potret Dilema Kebaikan di Pedesaan


Lahan yang dimaksud memang sudah lama dibiarkan terbengkalai. Rumput liar tumbuh lebat, sebagian ditumbuhi semak dan gulma, dan di beberapa sudut mulai muncul pohon singkong liar serta rumpun pisang. Lahan itu dulunya merupakan bagian dari warisan keluarga, namun karena kesibukan dan tidak adanya tenaga untuk mengelola, akhirnya dibiarkan begitu saja. Hingga suatu hari, datanglah tetangga dengan niat "baik" — meminjam lahan untuk digarap.

Sang wanita, yang sebut saja Rani, awalnya menyambut tawaran itu dengan senyum tipis. Ia tidak langsung menolak, tapi juga tidak serta-merta menerima. Ia hanya ingin tahu lebih lanjut. Maka ia bertanya: "Kalau saya pinjamkan lahannya, nanti saya dapat apa?"

Pertanyaan itu membuat suasana mendadak canggung. Tetangganya menjawab ringan, “Ngga dapat apa-apa, tapi lahan kamu jadi terawat. Jadi nggak penuh rumput.”

Jawaban itu tampak logis di permukaan, tapi justru menyimpan dilema besar di baliknya. Di satu sisi, memang benar bahwa lahan kosong yang dibiarkan akan ditumbuhi rumput liar, tampak kotor, dan berpotensi menjadi sarang ular. Namun di sisi lain, meminjamkan tanah tanpa imbalan apa pun — tanpa bagi hasil, tanpa batas waktu yang jelas — sering kali berakhir dengan drama panjang, terutama di lingkungan pedesaan di mana hubungan sosial sangat kompleks dan sensitif.


Dilema Sosial di Balik Kebaikan

Bagi sebagian orang kota, persoalan semacam ini mungkin terdengar sepele. Tapi bagi masyarakat desa, lahan bukan sekadar tanah kosong — ia adalah sumber penghidupan, simbol status, dan bahkan penentu kehormatan keluarga. Meminjamkan lahan bisa diartikan sebagai bentuk kebaikan, tapi juga bisa menjadi awal dari potensi konflik, terutama ketika kebaikan itu disalahartikan sebagai kelemahan.

“Kalo sudah dikasih pinjam, nanti mereka merasa punya hak moral di situ. Giliran mau dipakai sendiri, malah jadi panjang urusannya,” kata seorang tokoh masyarakat di desa yang sama saat ditemui NAVIGASI.in. “Saya pernah lihat banyak kasus. Awalnya cuma pinjam tanam singkong. Eh, dua tahun kemudian sudah berdiri gubuk, terus bilang ‘nunggu panen dulu baru pindah’. Kadang panennya nggak pernah datang.”

Kisah-kisah seperti itu memang sering terjadi di pedesaan. Banyak warga yang berniat baik dengan meminjamkan lahan kosongnya agar tidak menjadi semak belukar, tapi kemudian menyesal karena sulit mengambil kembali haknya. Beberapa bahkan sampai berurusan dengan aparat desa karena pihak peminjam enggan meninggalkan lahan yang sudah digarapnya.


Tentang Bagi Hasil dan Nilai Keadilan di Desa

Dalam tradisi pertanian di Indonesia, praktik kerja sama semacam ini dikenal dengan istilah maro atau magang — tergantung daerahnya. Prinsipnya sederhana: pemilik lahan memberikan hak kelola kepada orang lain untuk menanam, dengan kesepakatan hasil panen akan dibagi antara pemilik lahan dan penggarap. Biasanya bagi hasilnya 50:50, atau 60:40 tergantung siapa yang menanggung bibit dan pupuk.

Namun dalam kasus seperti yang dialami Rani, tawaran dari tetangga tidak mencantumkan konsep bagi hasil sama sekali. Sang peminjam hanya menawarkan imbalan berupa "perawatan" lahan — agar tidak penuh rumput. Secara ekonomi, hal ini jelas tidak menguntungkan bagi pemilik lahan, karena yang diuntungkan sepenuhnya adalah pihak penggarap.

“Kalau cuma untuk mencegah rumput, bisa bayar tukang potong rumput sebulan sekali, kan? Lebih jelas biayanya, dan tidak ada konflik di belakang hari,” ujar salah satu perangkat desa yang dimintai komentar.

Namun di balik itu, masih ada tekanan sosial yang membuat banyak orang akhirnya tetap mengiyakan permintaan semacam ini. Dalam budaya gotong royong, menolak permintaan tetangga sering dianggap tidak sopan, bahkan bisa dicap pelit atau sombong. Akibatnya, banyak warga yang memilih diam dan membiarkan lahannya digarap tanpa kejelasan.


Dari Rumput ke Singkong: Ketika “Perawatan” Menjadi Penguasaan

Pernah ada cerita di desa sebelah, di mana seorang pemilik lahan memberi izin kepada tetangganya untuk menanam singkong “sementara saja”. Awalnya memang hanya sebagian kecil, tapi lama-lama lahan itu dipenuhi tanaman singkong, pisang, bahkan ada gubuk kecil di tengahnya. Ketika pemilik tanah ingin menggunakan lahannya kembali, tetangganya menolak dan beralasan bahwa ia belum panen.

Situasi semacam ini bukan hanya menimbulkan ketegangan antarwarga, tapi juga bisa berujung pada persoalan hukum. Sebab, dalam hukum agraria Indonesia, seseorang yang menguasai lahan selama bertahun-tahun tanpa sanggahan bisa mengajukan klaim kepemilikan melalui jalur tertentu, terutama jika pemilik aslinya tidak aktif mempertahankan haknya. Itulah mengapa, banyak kepala desa kini lebih berhati-hati dan selalu menyarankan agar setiap “pinjam-meminjam lahan” dibuatkan surat pernyataan tertulis.

“Kami di desa sering jadi penengah. Kadang pihak pemilik lahan ngeluh, tapi nggak punya bukti tertulis kalau itu cuma dipinjamkan. Akhirnya susah ngusir,” kata Kepala Dusun Melinting yang ditemui tim redaksi.

Ia menambahkan, “Kalau mau bantu, bantu saja, tapi buatkan surat. Tuliskan batas waktu. Jangan karena rasa sungkan, malah rugi sendiri.”


Aspek Psikologis: Kebaikan yang Disalahpahami

Kisah Rani juga menggambarkan sisi psikologis yang menarik. Di banyak masyarakat pedesaan, batas antara “bantuan” dan “hak milik” sering kali kabur. Ketika seseorang memberi pinjaman atau izin, pihak lain bisa saja menafsirkan itu sebagai “restu permanen”. Dan ketika izin itu ditarik kembali, muncul rasa tersinggung, bahkan dendam.

“Padahal niatnya cuma nolong,” ujar Rani dalam unggahan curhatnya di media sosial. “Tapi kok rasanya nanti malah saya yang rugi sendiri. Udah lahan dipakai orang, hasilnya nggak dapat, nanti pas mau dipakai malah dibilang nggak punya perasaan.”

Postingan itu langsung ramai dikomentari warganet, terutama dari mereka yang pernah mengalami hal serupa. Banyak yang menasihati agar Rani berhati-hati, karena "pinjam lahan" sering kali ujung-ujungnya bukan sekadar pinjam.

Seorang warganet menulis, “Jangan kasih pinjam kalau nggak ada hitam di atas putih. Orang zaman sekarang kadang manis di awal, tapi begitu sudah nanam, malah ngatur-ngatur lahan kita.”

Komentar lain menimpali, “Saya dulu juga gitu, akhirnya malah berantem sama tetangga sendiri. Mending biarin aja rumputan, daripada nanti drama.”


Nilai-Nilai Kearifan Lokal: Antara Tolong-Menolong dan Hak Milik

Tradisi saling membantu di pedesaan memang sudah ada sejak lama. Namun dalam konteks modern, banyak nilai gotong royong yang bergeser karena kebutuhan ekonomi. Apa yang dulu murni niat menolong, kini sering kali diiringi dengan motif keuntungan pribadi. Hal ini membuat batas moral menjadi kabur.

Menurut Dr. Siti Rahmawati, sosiolog pedesaan dari Universitas Lampung, persoalan seperti yang dialami Rani mencerminkan benturan antara dua sistem nilai: tradisional dan modern. “Di satu sisi, masyarakat masih menjunjung tinggi gotong royong dan solidaritas. Tapi di sisi lain, sistem ekonomi sekarang mendorong individu untuk berpikir lebih rasional dan berhitung. Jadilah muncul konflik batin seperti ini,” katanya.

Ia menjelaskan, dalam konteks adat, tanah dianggap milik bersama atau minimal harus dimanfaatkan. Tapi dalam sistem modern, kepemilikan individu dijaga secara hukum. Ketika seseorang meminjamkan tanahnya tanpa batas, sebenarnya ia sedang melepaskan sebagian kontrol, dan itu bisa menimbulkan masalah di masa depan.


Belajar dari Kasus Nyata di Berbagai Daerah

Kasus seperti Rani bukan yang pertama. Di banyak daerah di Jawa Tengah dan Sumatera, banyak warga akhirnya menyesal setelah meminjamkan lahan tanpa perjanjian. Misalnya di Klaten, seorang warga memberi izin kepada kerabatnya menanam tembakau di lahannya. Namun setelah empat tahun, ketika pemilik ingin menjual tanah itu, si penggarap menolak dan mengaku punya hak karena sudah “merawat” lahan bertahun-tahun.

Kasus lain terjadi di Lampung Timur. Seorang ibu rumah tangga memberi izin kepada tetangganya untuk menanam singkong dengan syarat tidak menanam pohon keras. Tapi setelah beberapa bulan, muncul pohon pisang, kelapa, bahkan jengkol. Ketika ditegur, si peminjam justru tersinggung dan mengatakan, “Kan dulu cuma dibilang jangan nanam pohon besar, ini cuma pisang.” Akhirnya hubungan mereka retak dan tidak saling sapa bertahun-tahun.

Fenomena semacam ini mengajarkan bahwa niat baik sekalipun harus dibarengi dengan ketegasan dan aturan yang jelas. Bukan karena tidak percaya kepada orang lain, tapi untuk menjaga hubungan tetap sehat.


Langkah Bijak Sebelum Meminjamkan Lahan

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, ada beberapa langkah bijak yang bisa dilakukan oleh pemilik lahan:

  1. Buat surat perjanjian tertulis. Minimal ditandatangani kedua pihak dan disaksikan oleh kepala dusun atau RT setempat. Tuliskan jangka waktu, jenis tanaman yang boleh ditanam, dan syarat pengembalian lahan.
  2. Tentukan sistem bagi hasil. Walau kecil, setidaknya pemilik lahan tetap mendapatkan bagian dari hasil panen. Ini memberi rasa adil dan menghargai kontribusi tanah.
  3. Batasi jenis tanaman. Hindari memberi izin menanam pohon keras seperti pisang, kelapa, atau nangka, karena tanaman ini bersifat jangka panjang dan sulit dicabut saat lahan ingin dipakai kembali.
  4. Tetapkan masa pakai yang jelas. Misalnya, hanya untuk satu musim tanam atau satu tahun. Setelah itu harus diperbarui dengan kesepakatan baru.
  5. Gunakan lahan untuk tanaman penutup tanah sendiri. Jika tujuan utama hanya agar tidak ditumbuhi rumput, pemilik bisa menanami sendiri dengan tanaman kecil seperti kacang tanah atau bunga, tanpa perlu meminjamkan ke orang lain.

Dengan langkah-langkah ini, pemilik lahan bisa tetap membantu sesama tanpa kehilangan haknya dan tanpa perlu khawatir munculnya drama di kemudian hari.


Refleksi: Antara Kebaikan dan Ketegasan

Kasus seperti yang dialami Rani sejatinya mengingatkan kita bahwa kebaikan pun perlu disertai kebijakan. Menolong orang lain memang baik, tapi ketika kebaikan itu justru membuka celah bagi masalah baru, maka perlu ada batas yang sehat. Dalam konteks kehidupan desa, hal semacam ini sangat sensitif, karena menyangkut hubungan sosial, rasa sungkan, dan harga diri.

Banyak warga akhirnya lebih memilih membiarkan lahannya ditumbuhi rumput daripada menghadapi potensi konflik sosial. “Biarin aja deh, rumput juga bukan maling,” ujar seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Lampung Selatan sambil tertawa getir. “Daripada nanti ribut, lebih baik saya saban bulan suruh orang potong rumput aja.”

Ungkapan itu menggambarkan realitas: bahwa menjaga ketenangan sosial terkadang dianggap lebih penting daripada keuntungan ekonomi kecil. Namun di sisi lain, ini juga menunjukkan lemahnya sistem pengelolaan sumber daya di tingkat lokal.


Penutup: Saat Kebaikan Perlu Disertai Ketegasan

Meminjamkan lahan kepada tetangga untuk ditanami bawang, tembakau, atau singkong mungkin tampak sepele, tapi di baliknya tersimpan kompleksitas sosial, hukum, dan moral yang tidak bisa diabaikan. Niat baik bisa berubah menjadi sumber masalah jika tidak dikelola dengan benar.

Bagi para pemilik lahan di desa, penting untuk memahami bahwa menjaga hak milik bukan berarti pelit. Justru itu bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri dan keluarga. Menetapkan batas dan membuat perjanjian bukanlah tanda tidak percaya, melainkan cara untuk menjaga kejelasan.

Dan bagi para peminjam, penting pula menghormati batas-batas itu. Kebaikan tidak boleh dimanfaatkan untuk keuntungan sepihak. Gotong royong sejati adalah ketika kedua pihak sama-sama diuntungkan dan saling menghargai.

Seperti kata pepatah lama, “Menanam kebaikan itu indah, tapi jangan lupa pagar agar tidak dimakan kambing.”


Penulis: Tim Redaksi Navigasi.in

Post a Comment for "Tetangga Ingin Pinjam Lahan untuk Tanam Bawang dan Tembakau, Tapi Tak Ada Bagi Hasil: Potret Dilema Kebaikan di Pedesaan"