Youtube

Putusan MK: Masyarakat Adat Tak Wajib Izin Berkebun di Kawasan Hutan, Kemenangan yang Masih Bersyarat

NAVIGASI.in — Ketika Mahkamah Konstitusi membacakan Putusan Nomor 181/PUU-XXII/2024 pada 16 Oktober 2025, ruang publik bergemuruh oleh tepuk tangan dan rasa lega. Dalam putusan monumental itu, MK menegaskan: masyarakat adat yang hidup secara turun-temurun di kawasan hutan dan berkegiatan bukan untuk kepentingan komersial tidak wajib mengantongi izin pemerintah untuk berkebun di dalam hutan.

Putusan MK: Masyarakat Adat Tak Wajib Izin Berkebun di Kawasan Hutan, Kemenangan yang Masih Bersyarat
Putusan MK: Masyarakat Adat Tak Wajib Izin Berkebun di Kawasan Hutan, Kemenangan yang Masih Bersyarat


Di permukaan, keputusan ini tampak sederhana — sekadar tafsir ulang atas norma izin berusaha di kawasan hutan. Namun di baliknya, tersimpan napas panjang perjuangan ratusan komunitas adat di seluruh nusantara yang selama puluhan tahun hidup di bawah bayang-bayang kriminalisasi.

Dari Peladang ke Tersangka

Sebelum putusan ini lahir, pasal-pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya Pasal 17 ayat (2) huruf b Lampiran UU 6/2023, sering kali dijadikan dasar hukum untuk menjerat masyarakat adat yang membuka ladang di wilayah nenek moyangnya. Praktik yang seharusnya menjadi bagian dari tradisi dan ketahanan pangan lokal malah dianggap pelanggaran hukum.

Di Kalimantan Barat, seorang petani Dayak di Sintang bernama Yusri pernah ditangkap karena dianggap membakar lahan untuk berladang, padahal ia menjalankan tradisi menugal — menanam padi secara bergilir sebagaimana dilakukan leluhurnya. Di Sumatera Utara, komunitas adat Pandumaan-Sipituhuta pernah digusur dari tanah adat mereka karena perusahaan pulp mengklaim wilayah tersebut sebagai konsesi hutan produksi. Di Papua, masyarakat Suku Awyu berhadapan dengan perusahaan sawit raksasa yang mendapat izin pemerintah untuk membuka lahan di kawasan yang secara adat mereka kelola selama ratusan tahun.

Kasus-kasus seperti ini menampilkan paradoks besar: negara yang menjanjikan perlindungan bagi masyarakat adat justru sering menempatkan mereka sebagai pelanggar hukum di atas tanahnya sendiri. Dalam banyak kasus, masyarakat adat bahkan tak pernah tahu bahwa wilayah leluhur mereka telah berubah status menjadi “kawasan hutan produksi” atau “izin usaha kehutanan”.

Akibatnya, tindakan menebang pohon untuk bahan bangunan rumah atau membuka ladang kecil untuk padi dianggap kejahatan kehutanan. Proses hukum sering berlangsung cepat dan kaku, tanpa mempertimbangkan konteks sosial budaya yang melatarbelakangi praktik tersebut. Masyarakat adat yang berabad-abad menjaga hutan, ironisnya, justru dituduh sebagai perusak.

MK Menarik Garis Etis

Melalui putusan ini, MK mencoba menegakkan keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan sosial. Negara memang memiliki kewajiban menjaga kelestarian hutan — tetapi perlindungan ekologi tidak boleh mematikan ekosistem sosial dan kultural masyarakat adat yang justru telah menjaga hutan jauh sebelum republik berdiri.

MK menegaskan bahwa kata “setiap orang” dalam larangan berkebun di kawasan hutan tanpa izin tidak boleh dimaknai secara mutlak. Masyarakat adat yang hidup turun-temurun dan menjalankan aktivitas subsisten, seperti menanam padi, umbi, atau rotan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, tidak dapat disamakan dengan pelaku usaha komersial yang membuka ratusan hektare untuk industri sawit atau tambang.

Putusan ini menjadi pengingat akan prinsip dasar dalam hukum: lex humanitatis — hukum dibuat untuk manusia, bukan sebaliknya. Dengan demikian, masyarakat adat tidak lagi harus berjalan di antara dua ancaman: kelaparan karena tak bisa bercocok tanam, atau penjara karena dianggap “merusak hutan negara”.

Kemenangan yang Masih Bersyarat

Meski disambut dengan sukacita, kemenangan ini bersifat bersyarat. MK tidak serta-merta memberikan kebebasan mutlak bagi semua aktivitas di hutan atas nama adat. Pengecualian hanya berlaku bagi komunitas yang benar-benar hidup turun-temurun di dalam kawasan hutan dan tidak berkegiatan secara komersial.

Artinya, jika ada masyarakat adat yang menjadikan aktivitasnya sebagai usaha besar — misalnya perkebunan sawit rakyat berskala luas atau perdagangan hasil hutan dalam skala industri — mereka tetap harus tunduk pada izin dan regulasi kehutanan. Begitu pula bagi kelompok masyarakat baru yang bermukim di sekitar hutan tanpa hubungan historis dengan wilayah tersebut, mereka tidak bisa serta-merta mengklaim perlindungan putusan ini.

Implementasi di lapangan akan bergantung pada sejauh mana negara mampu memetakan dan mengakui keberadaan masyarakat adat. Hingga kini, menurut data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), terdapat lebih dari 2.100 komunitas adat yang teridentifikasi di seluruh Indonesia. Namun, hanya sebagian kecil yang sudah mendapatkan pengakuan hukum melalui perda atau keputusan kepala daerah. Tanpa pengakuan formal, posisi mereka di mata hukum masih lemah.

Antara Kepastian Hukum dan Keadilan Sosial

Putusan MK membawa pesan moral yang tajam: keadilan sosial tidak boleh dikalahkan oleh legalitas administratif. Selama ini, banyak konflik agraria lahir karena negara menempatkan izin dan sertifikat di atas sejarah dan budaya. Dalam praktiknya, hukum kehutanan dan agraria kerap tumpang tindih, menimbulkan kekosongan perlindungan bagi masyarakat adat.

Contohnya, di Riau, masyarakat Sakai terus berjuang mempertahankan lahan adat mereka yang tumpang tindih dengan izin HTI. Di Sulawesi Tengah, warga Kulawi menolak proyek hutan tanaman industri yang menggerus ruang hidup mereka. Sementara di Lampung Barat, masyarakat Semendo pernah terancam kehilangan tanah adatnya akibat klaim kawasan hutan produksi terbatas. Semua ini menunjukkan bahwa tanpa pengakuan yang jelas, masyarakat adat akan terus menjadi korban kebijakan.

Kini, dengan keputusan MK, terbuka peluang bagi penyembuhan sejarah. Masyarakat adat memiliki dasar hukum untuk kembali menanam di tanah leluhur tanpa rasa takut — selama mereka memegang prinsip non-komersial dan menjaga keberlanjutan lingkungan. Prinsip ini sejalan dengan filosofi adat banyak suku di Indonesia yang memandang hutan sebagai “ibu kehidupan”, bukan sekadar sumber ekonomi.

Dinamika di Lapangan: Dari Papua hingga Sumatera

Di Papua Selatan, Suku Awyu kini memiliki harapan baru. Setelah bertahun-tahun berjuang melawan ekspansi perusahaan sawit, mereka melihat putusan MK ini sebagai pengakuan atas hak moral yang selama ini diabaikan. “Kami tidak minta banyak, hanya ingin tanam sagu di tanah kami sendiri,” ujar seorang tokoh adat Awyu. Pernyataan sederhana itu menggambarkan betapa dalam luka akibat tumpang tindih izin dan klaim kawasan hutan.

Di Kalimantan Tengah, komunitas Dayak Iban di Kapuas Hulu juga menyambut putusan ini dengan optimisme. Mereka berharap negara tidak lagi menuduh mereka “membakar hutan”, padahal aktivitas membakar ladang kecil sudah menjadi bagian dari sistem pertanian berkelanjutan mereka selama ratusan tahun. Dalam praktik tradisional itu, pembakaran dilakukan secara terbatas dan terkendali, bahkan menciptakan kesuburan alami tanpa pupuk kimia.

Di Sumatera Barat, masyarakat adat Minangkabau yang memiliki sistem tanah ulayat juga memandang putusan ini sebagai peluang memperkuat otonomi nagari. Selama ini, tanah ulayat sering terpinggirkan oleh kebijakan kehutanan modern yang tidak memahami konsep kepemilikan komunal. Dengan adanya dasar hukum baru, pemerintah daerah diharapkan bisa menyusun kebijakan turunan yang mengakui keberadaan tanah adat di dalam kawasan hutan.

Tantangan Implementasi

Meski putusan MK bersifat final dan mengikat, tantangan terbesarnya justru berada di tahap implementasi. Pemerintah daerah dan kementerian teknis perlu menyusun panduan operasional agar aparat di lapangan tidak salah menafsirkan. Dalam konteks birokrasi, tafsir hukum yang tidak jelas bisa berujung pada kebingungan bahkan penyalahgunaan kewenangan.

Selain itu, pengakuan terhadap masyarakat adat masih terganjal oleh masalah administrasi. Banyak komunitas adat belum memiliki dokumen hukum yang membuktikan eksistensinya secara formal. Proses pemetaan wilayah adat juga berjalan lambat karena keterbatasan sumber daya dan perbedaan standar antara lembaga pemerintah dan masyarakat sipil.

Di sisi lain, konflik kepentingan ekonomi di sektor kehutanan, pertambangan, dan perkebunan masih menjadi faktor penghambat besar. Tidak sedikit pejabat daerah yang enggan mengakui wilayah adat karena khawatir mengganggu investasi. Padahal, jika dikelola dengan pendekatan partisipatif, keberadaan masyarakat adat justru bisa memperkuat pengawasan terhadap kelestarian hutan.

Langkah ke Depan: Dari Putusan ke Kebijakan

Putusan MK hanya akan bermakna jika diikuti dengan langkah kebijakan konkret. Pemerintah pusat perlu menyusun peraturan pelaksana yang menegaskan mekanisme identifikasi dan verifikasi masyarakat adat, serta panduan teknis mengenai aktivitas apa saja yang termasuk dalam kategori non-komersial. Tanpa itu, aparat penegak hukum di lapangan akan tetap ragu dan potensi kriminalisasi bisa berulang.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Kementerian ATR/BPN dan Kemendagri perlu duduk bersama menyusun peta jalan baru pengelolaan kawasan hutan berbasis hak adat. Sinergi dengan organisasi masyarakat sipil seperti AMAN dan BRWA (Badan Registrasi Wilayah Adat) juga sangat penting untuk memastikan proses ini berjalan inklusif.

Selain itu, pendidikan publik mengenai hak masyarakat adat harus diperkuat. Banyak aparat desa, polisi, bahkan hakim di daerah yang belum memahami perbedaan antara peladang tradisional dan pelaku perusakan hutan. Sosialisasi putusan MK perlu dilakukan sampai ke tingkat akar rumput agar tidak disalahartikan.

Ekonomi Adat dan Keberlanjutan

Keputusan MK juga membuka ruang diskusi baru tentang konsep ekonomi adat. Selama ini, masyarakat adat sering dicap “tidak produktif” karena tidak mengikuti logika pasar. Padahal, banyak komunitas adat yang justru menerapkan sistem ekonomi berkelanjutan: menanam sesuai kebutuhan, memanen sesuai musim, dan membagi hasil secara kolektif.

Model seperti ini terbukti menjaga keseimbangan ekologi. Studi BRWA tahun 2023 menunjukkan bahwa wilayah adat yang diakui secara hukum memiliki tingkat deforestasi jauh lebih rendah dibanding kawasan hutan produksi. Artinya, pemberdayaan masyarakat adat bukan hanya urusan keadilan sosial, tetapi juga strategi lingkungan nasional.

Jika pemerintah berani mengambil langkah progresif, konsep ekonomi adat berkelanjutan bisa menjadi pilar baru pembangunan hijau Indonesia. Komoditas seperti madu hutan, rotan, damar, atau kopi hutan bisa dikembangkan tanpa mengubah sistem sosial budaya yang sudah ada. Pendekatan ini terbukti sukses di beberapa wilayah seperti Krui (Lampung), Malinau (Kaltara), dan Sumba Timur (NTT).

Penutup: Saatnya Negara Mengakui

Keputusan Mahkamah Konstitusi bukan akhir dari perjuangan, melainkan awal dari babak baru reformasi agraria yang lebih manusiawi. Pemerintah perlu menindaklanjuti putusan ini dengan kebijakan yang nyata — mulai dari peta wilayah adat, tata ruang kehutanan yang inklusif, hingga mekanisme penyelesaian sengketa berbasis kearifan lokal.

Masyarakat adat telah lama menjaga hutan tanpa izin tertulis; mereka hanya punya satu surat izin: izin dari sejarah. Kini, setelah MK bicara, sudah sepatutnya negara berhenti memperlakukan para penjaga hutan itu sebagai pelanggar.

Di tengah krisis iklim global, dunia justru mulai belajar dari mereka — tentang bagaimana hidup berdampingan dengan alam, bukan menguasainya. Masyarakat adat mengajarkan bahwa kelestarian bukanlah proyek, melainkan warisan. Dan di dalam akar-akar pepohonan yang mereka rawat, tersimpan makna paling dalam dari Pasal 33 UUD 1945:

“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Putusan MK ini adalah undangan bagi negara untuk kembali pada makna sejatinya: bahwa hukum bukan alat menindas yang lemah, melainkan jembatan menuju keadilan bagi semua.


Penulis: Redaksi Navigasi.in
Tanggal: 22 Oktober 2025

navigasiin
navigasiin navigasiin adalah portal Situs Berita Berbahasa Indonesia yang menyajikan berita terkini terpercaya sebagai petunjuk inspirasi anda

Post a Comment for "Putusan MK: Masyarakat Adat Tak Wajib Izin Berkebun di Kawasan Hutan, Kemenangan yang Masih Bersyarat"