Gali Emas di Tanah Sendiri Tanpa Izin, Dua Penambang Sukabumi Terancam 5 Tahun Penjara: Potret Ironi di Negeri Kaya Tambang
Navigasi.in, Sukabumi — Sebuah peristiwa yang mengundang perhatian publik terjadi di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Dua warga setempat ditangkap aparat kepolisian karena menggali emas di lahan milik sendiri tanpa mengantongi izin resmi dari pemerintah. Mereka kini terancam hukuman penjara hingga lima tahun dan denda miliaran rupiah. Kasus ini menimbulkan perdebatan panjang tentang keadilan, regulasi pertambangan, dan nasib rakyat kecil di negeri yang kaya sumber daya alam.
![]() |
| Gali Emas di Tanah Sendiri Tanpa Izin, Dua Penambang Sukabumi Terancam 5 Tahun Penjara: Potret Ironi di Negeri Kaya Tambang |
Kasus Penambangan Tanpa Izin di Sukabumi
Penangkapan dua warga Sukabumi berawal dari operasi gabungan yang dilakukan oleh Satreskrim Polres Sukabumi bersama tim pengawas pertambangan dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Barat. Operasi tersebut digelar setelah adanya laporan masyarakat terkait aktivitas tambang ilegal di kawasan perbukitan Desa Cikidang, Kecamatan Cisolok.
![]() |
| Gali Emas di Tanah Sendiri Tanpa Izin, Dua Penambang Sukabumi Terancam 5 Tahun Penjara: Potret Ironi di Negeri Kaya Tambang |
Dalam operasi yang berlangsung pada awal Oktober 2025 itu, polisi menemukan tenda-tenda darurat di tengah hutan serta peralatan sederhana seperti dulang, sekop, dan mesin penyedot air. Dua warga yang tengah mengais butiran emas di dasar sungai langsung diamankan dan dibawa ke Mapolres Sukabumi untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Kapolres Sukabumi, AKBP Wahyu Suryono, dalam konferensi pers menjelaskan bahwa aktivitas tersebut termasuk dalam kategori pertambangan tanpa izin atau PETI. Menurutnya, meskipun lahan yang digali adalah tanah milik pribadi, kegiatan pengambilan mineral tetap wajib memiliki izin resmi dari pemerintah, karena emas merupakan bagian dari sumber daya alam yang dikuasai oleh negara.
“Mereka menggali emas di lahan sendiri, benar. Namun aktivitas itu tetap melanggar Undang-Undang Minerba, karena setiap kegiatan eksploitasi mineral logam wajib memiliki izin usaha pertambangan,” jelas Wahyu.
Ancaman Hukuman dan Pasal yang Dikenakan
Atas perbuatannya, kedua pelaku dijerat dengan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin resmi dapat dipidana dengan hukuman penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
![]() |
| Gali Emas di Tanah Sendiri Tanpa Izin, Dua Penambang Sukabumi Terancam 5 Tahun Penjara: Potret Ironi di Negeri Kaya Tambang |
Selain itu, aparat kepolisian juga menyita sejumlah barang bukti, termasuk beberapa gram emas hasil tambang, alat penyaring, dan peralatan kerja. Meski hasilnya tergolong kecil, namun secara hukum kegiatan tersebut tetap dianggap melanggar ketentuan negara.
“Kami menghargai niat masyarakat untuk mencari penghasilan, namun hukum tetap harus ditegakkan. Tidak boleh ada aktivitas pertambangan tanpa izin, sekecil apa pun skalanya,” tegas Kapolres Wahyu.
Ironi di Negeri Kaya Tambang
Kasus ini langsung menjadi perbincangan hangat di media sosial. Banyak warganet yang menyoroti ketimpangan antara rakyat kecil yang dihukum karena menggali emas di tanah sendiri, sementara praktik tambang besar dengan kerusakan lingkungan yang masif justru kerap mendapat kelonggaran hukum.
“Aneh, gali emas di tanah sendiri bisa dipenjara. Tapi perusahaan besar yang merusak hutan kadang cuma ditegur,” tulis salah satu pengguna Facebook yang viral membagikan foto para pelaku dan aparat di lokasi kejadian.
Kritik itu bukan tanpa alasan. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan cadangan emas terbesar di dunia. Namun, kekayaan tersebut sebagian besar dikelola oleh korporasi besar dengan modal raksasa. Rakyat kecil yang mencoba memanfaatkan potensi alam di sekitar mereka sering kali tersandung aturan hukum yang rumit dan mahal untuk diurus.
Seorang tokoh masyarakat Cisolok, H. Nurdin, menilai bahwa aturan tentang izin pertambangan terlalu sulit diakses oleh warga biasa. “Bayangkan, orang kampung mau gali tanah sendiri untuk cari rezeki, harus urus izin yang biayanya puluhan juta dan prosesnya berbulan-bulan. Mana sanggup?” ujarnya kepada Navigasi.in.
Perspektif Hukum: Kepemilikan Tanah vs Kepemilikan Mineral
Banyak masyarakat yang masih salah kaprah mengira bahwa memiliki sebidang tanah berarti memiliki segala sesuatu yang ada di dalamnya. Padahal, berdasarkan hukum di Indonesia, kepemilikan tanah dan sumber daya mineral di bawahnya adalah dua hal yang berbeda.
Menurut Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Artinya, sekalipun seseorang memiliki tanah secara pribadi, emas atau mineral di dalamnya tetap merupakan milik negara yang pengelolaannya diatur oleh undang-undang.
Pakar hukum pertambangan dari Universitas Padjadjaran, Dr. Irwansyah, menjelaskan, “Pemilik tanah boleh melakukan aktivitas di permukaan, tetapi begitu menyangkut pengambilan mineral, itu sudah masuk ke ranah negara. Karena mineral dianggap milik publik, bukan milik pribadi.”
Ia menambahkan bahwa pemerintah memang wajib mengatur izin tambang agar tidak terjadi kerusakan lingkungan, konflik lahan, dan praktik penjualan ilegal. Namun, ia juga mengingatkan agar penegakan hukum dilakukan dengan memperhatikan keadilan sosial. “Jika masyarakat kecil menambang karena kebutuhan hidup, seharusnya ada pendekatan pembinaan, bukan langsung pidana,” ujarnya.
Kondisi Sosial Ekonomi di Balik Tambang Rakyat
Fenomena tambang rakyat seperti di Sukabumi bukan hal baru. Di banyak daerah lain seperti Banyumas, Tasikmalaya, dan Bolaang Mongondow, masyarakat juga menggantungkan hidup dari emas tradisional. Mereka menggunakan peralatan sederhana, menggali dengan tangan, dan menjual hasilnya ke pengepul lokal.
Sebagian besar para penambang rakyat ini berasal dari kalangan ekonomi lemah. Mereka terdorong oleh sulitnya mencari pekerjaan tetap dan rendahnya harga hasil pertanian. Di saat harga emas dunia melambung, aktivitas tambang menjadi pilihan terakhir untuk bertahan hidup.
Namun di balik itu, risiko yang dihadapi juga besar. Selain ancaman hukum, tambang tanpa izin sering menimbulkan longsor, pencemaran air raksa, serta konflik sosial antarwarga. Pemerintah daerah kerap kewalahan menertibkan karena jumlah lokasi tambang ilegal mencapai ratusan titik dengan medan yang sulit dijangkau.
Pemerintah Diminta Reformasi Izin Tambang Rakyat
Sejumlah aktivis lingkungan dan akademisi mendesak agar pemerintah melakukan reformasi izin pertambangan rakyat. Mereka menilai bahwa masyarakat lokal semestinya diberi ruang legal untuk menambang dalam skala kecil, tanpa harus melalui prosedur rumit seperti perusahaan besar.
Direktur Eksekutif Wahana Tambang Rakyat Nusantara, Rizky Hidayat, menyebutkan bahwa Undang-Undang Minerba seharusnya bisa diterapkan secara fleksibel. “Negara ini punya jutaan warga di daerah yang hidup dari tambang kecil. Kalau semua ditangkap karena tidak punya izin, itu sama saja menutup mata terhadap realitas sosial,” ujarnya.
Ia mendorong pemerintah daerah untuk memperluas skema Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Dalam sistem ini, masyarakat dapat menambang secara legal dengan pembinaan teknis, pengawasan lingkungan, dan akses pemasaran yang sehat. “Dengan begitu, negara tetap mengatur, rakyat tidak kriminalisasi, dan lingkungan tetap terjaga,” tambah Rizky.
Suara dari Keluarga Penambang
Istri salah satu pelaku yang ditangkap mengaku kaget dan sedih atas peristiwa tersebut. Ia mengatakan bahwa suaminya hanya berusaha mencari uang untuk kebutuhan keluarga. “Kami tidak tahu kalau itu harus pakai izin. Selama ini cuma gali pakai dulang, hasilnya kadang cuma buat makan sehari-hari,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Ia juga mengaku khawatir dengan masa depan anak-anaknya. Sejak penangkapan itu, keluarga kehilangan sumber pendapatan utama. Sementara biaya sekolah dan kebutuhan harian terus berjalan. “Kami berharap pemerintah bisa mempertimbangkan nasib orang kecil seperti kami. Kalau memang salah, ya diberi arahan, bukan dipenjara,” ujarnya lirih.
Tanggapan Pemerintah Daerah
Dinas ESDM Jawa Barat menegaskan bahwa pemerintah tidak menutup mata terhadap potensi tambang rakyat. Namun mereka tetap mengingatkan bahwa aktivitas pertambangan harus mengikuti prosedur agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan dan bahaya bagi keselamatan warga.
“Kami memahami kondisi masyarakat. Tapi kita tidak bisa membiarkan penambangan tanpa izin terus berlanjut. Harus ada tata kelola,” kata Kepala Dinas ESDM Jawa Barat, Hendra Setiawan.
Pihaknya juga mengaku sedang menyiapkan peta wilayah pertambangan rakyat yang baru di beberapa kabupaten, termasuk Sukabumi. Namun prosesnya masih menunggu persetujuan dari Kementerian ESDM. “Harapan kami, setelah WPR ini disetujui, masyarakat bisa menambang secara legal tanpa takut ditangkap,” ujarnya.
Potret Ketimpangan Regulasi
Kasus di Sukabumi menjadi cermin dari betapa kompleksnya pengelolaan tambang di Indonesia. Di satu sisi, negara berhak mengatur sumber daya alam. Namun di sisi lain, rakyat di sekitar tambang sering kali tidak merasakan manfaat, bahkan menjadi korban dari sistem perizinan yang sulit.
Perusahaan besar dengan modal miliaran rupiah dapat dengan mudah memperoleh izin dan akses lahan. Sebaliknya, masyarakat lokal harus berhadapan dengan jerat hukum meski aktivitas mereka bersifat subsisten. Hal ini menimbulkan kesan bahwa hukum tambang hanya berpihak pada pemilik modal besar.
“Jika negara benar-benar ingin menyejahterakan rakyat, maka seharusnya ada jalan tengah. Bukan sekadar menegakkan hukum, tetapi juga memberikan solusi agar rakyat kecil bisa hidup layak dari kekayaan alamnya sendiri,” ujar pengamat ekonomi sumber daya alam, Dr. M. Rachman.
Harapan Baru untuk Tambang Rakyat
Beberapa daerah di Indonesia telah mencoba mengatur tambang rakyat dengan lebih bijak. Misalnya di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, pemerintah menetapkan zona WPR dan memberikan pelatihan kepada warga. Mereka diajari cara menambang tanpa bahan kimia berbahaya serta menjual hasilnya ke koperasi resmi.
Hasilnya cukup positif: angka kecelakaan tambang menurun, lingkungan lebih terjaga, dan pendapatan masyarakat meningkat. Model seperti inilah yang diharapkan dapat diterapkan di wilayah lain, termasuk Sukabumi.
“Kita tidak bisa menutup mata terhadap realitas sosial. Rakyat butuh makan, butuh hidup. Maka solusinya bukan represif, tapi edukatif dan kolaboratif,” tutur Rizky Hidayat menegaskan.
Penutup: Antara Hukum dan Kemanusiaan
Kasus dua penambang emas di Sukabumi bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga potret ketimpangan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam. Di tengah kekayaan tambang yang melimpah, masih banyak rakyat kecil yang harus mempertaruhkan kebebasan demi sesuap nasi.
Negara memang harus menegakkan aturan. Namun, penegakan hukum seharusnya tidak membutakan nurani. Masyarakat yang menggali emas dengan peralatan sederhana tidak seharusnya diperlakukan sama dengan korporasi besar yang menambang dengan ekskavator dan merusak ekosistem.
Sampai kini, kedua penambang itu masih menjalani proses hukum. Banyak pihak berharap agar hakim mempertimbangkan kondisi sosial dan niat mereka. Di sisi lain, masyarakat menunggu langkah nyata dari pemerintah untuk membuka jalan legal bagi tambang rakyat yang berkeadilan.
Kasus ini menjadi cermin bagi kita semua: bahwa di negeri yang kaya akan emas dan mineral, masih ada warga yang harus menambang air mata demi bertahan hidup.
Laporan: Tim Navigasi.in | Editor: A. Ramadhan



Post a Comment for "Gali Emas di Tanah Sendiri Tanpa Izin, Dua Penambang Sukabumi Terancam 5 Tahun Penjara: Potret Ironi di Negeri Kaya Tambang"