Sejarah Buay Semenguk, Buay Silamayang, dan Pubian Telu Suku
Sejarah Lampung bukan hanya tentang asal-usul etnis dan marga, tetapi juga tentang dinamika sosial, peperangan, migrasi, dan pembentukan tatanan adat. Di antara kelompok penting dalam sejarah ini terdapat Buay Semenguk dan Buay Silamayang, dua kelompok marga yang memiliki peranan besar dalam pembentukan identitas adat Pubian Telu Suku. Kisah ini juga menyentuh peristiwa perang Minak Indah, perayaan Mecak Wirang di Gilas, dan terbentuknya Abung Siwo Migo yang mewarnai sejarah Lampung hingga kini.
![]() |
Sejarah Buay Semenguk, Buay Silamayang, dan Pubian Telu Suku |
Asal Usul Buay Semenguk
Buay Semenguk adalah salah satu buay (klan) yang berasal dari wilayah hulu Way Kanan. Menurut tambo adat, nenek moyang Buay Semenguk berasal dari garis keturunan Poyang Sakti yang pindah dari Danau Ranau menuju Skala Brak. Mereka dikenal sebagai kelompok yang memiliki keahlian dalam strategi perang dan musyawarah. Nama "Semenguk" sendiri diyakini berasal dari kata "nguk" yang berarti terhimpun atau bersatu, melambangkan sifat gotong royong mereka.
Keturunan Buay Semenguk kemudian tersebar di beberapa kampung penting seperti Negeri Agung, Negeri Besar, dan Negeri Batin. Mereka menjadi salah satu penjaga keseimbangan adat dengan peran sebagai saksi dalam musyawarah besar, termasuk dalam pertemuan pembentukan Abung Siwo Migo.
Asal Usul Buay Silamayang
Buay Silamayang memiliki sejarah yang tak kalah menarik. Nama Silamayang berasal dari kata "sila" yang berarti duduk atau musyawarah dan "mayang" yang berarti bunga kelapa yang melambangkan kesuburan. Secara historis, kelompok ini dikenal sebagai penengah konflik dan penyelesai sengketa adat. Dalam setiap pertemuan adat besar, utusan Buay Silamayang duduk di posisi strategis sebagai penasehat.
Wilayah utama Buay Silamayang berada di sekitar Way Seputih dan Way Pangubuan. Mereka memiliki hubungan kekerabatan erat dengan Buay Tegamoan dan Buay Bahuga, sehingga sering menjadi jembatan perdamaian dalam konflik antar marga.
Mecak Wirang di Gilas
Mecak Wirang adalah sebuah upacara kemenangan yang diselenggarakan setelah kelompok Nunyai, Unyi, Subing, dan Nuban berhasil mengalahkan Raja Di Lawok. Di Gilas, pertemuan besar diadakan untuk membagi adat, harta rampasan perang, dan menetapkan struktur sosial baru. Hadir dalam acara ini perwakilan dari Buay Tegamoan, Buay Pemuka, Buay Bahuga, Buay Semenguk, dan Buay Silamayang.
Peristiwa ini menandai awal mula kerjasama yang lebih erat antara marga-marga, meskipun di kemudian hari ketegangan tetap terjadi terutama ketika menyangkut urusan perkawinan, tanah ulayat, dan hak waris.
Perang Minak Indah dan Tragedi Panarangan
Perang Minak Indah adalah salah satu peristiwa paling dramatis dalam sejarah Lampung. Minak Indah dari kampung Panarangan, keturunan Minak Rio Sanak Buay Tegamoan, dikenal sakti dan gagah berani. Ia memiliki tujuh orang anak gadis yang menjadi simbol kebanggaan keluarganya. Ketika beberapa pemuda dari Abung dan Pubian datang untuk meminang, Minak Indah mengajukan syarat yang sangat berat: menyerahkan emas seberat badan masing-masing putrinya. Syarat ini dianggap penghinaan, sehingga memicu peperangan.
Dalam pertempuran yang berlangsung sengit, Minak Indah akhirnya terbunuh oleh Minak Naga Ngumbang Hulubalang Minak Srappo Kiyo dari Terbanggi menggunakan senjata pusaka Subang Gading, penuang, dan Kayas Ibung Ngelamang Batu milik Minak Paduka Buay Nunyai. Kemenangan ini dirayakan di Kotabumi Tua dengan upacara adat besar-besaran, sekaligus mempererat hubungan antar marga yang terlibat dalam peperangan tersebut.
Tujuh anak gadis Minak Indah kemudian dipersunting pemuda-pemuda dari berbagai daerah: Kotabumi, Buyut, Surabaya, Mataram, Terbanggi, Bumi Aji, dan Lingai. Salah satu menantu bahkan diambil oleh Minak Naga Ngumbang sendiri. Peristiwa ini menandai berakhirnya pengaruh Minak Indah sekaligus membuka era baru persaudaraan antarmarga.
Pembentukan Adat Pubian Telu Suku
Setelah perang Panarangan, keturunan Ratu Di Pugung yang berada di sekitar Way Pangubuan dan keturunan Ratu Di Pemanggilan yang berada di Way Seputih memutuskan membentuk Adat Pubian Telu Suku. Pembentukan ini dihadiri oleh utusan Abung Siwo Migo dan sumbai dari Way Kanan. Adat Pubian Telu Suku terdiri dari:
I. Suku Masyarakat
- Buay Kediangan
- Buay Manik
- Buay Nyurang
- Buay Gunung
- Buay Kapal
- Buay Selagai Jurai Rawan
II. Suku Tambapupus
- Buay Nuwat
- Buay Pemuka Pati Pak Lang
- Buay Pemuka Menang
- Buay Semima
- Buay Pemuka Halom Bawak
- Buay Kuning
III. Suku Buku Jadi
- Buay Sejadi
- Buay Sejaya
- Buay Sebiyai
- Buay Ranji
- Buay Kaji
- Buay Pukuk
Pepadun vs Saibatin
Salah satu aspek penting dalam adat Lampung adalah perbedaan antara sistem Pepadun dan Saibatin. Pepadun adalah sistem adat yang lebih demokratis, di mana gelar adat bisa diperoleh melalui musyawarah dan pemberian gelar (naik pepadun). Saibatin, sebaliknya, bersifat aristokratis di mana gelar diwariskan secara turun-temurun. Buay Semenguk dan Buay Silamayang termasuk dalam kelompok pepadun, yang menjadikan mereka lebih terbuka terhadap perubahan sosial.
Peran Sosial Budaya Masa Kini
Di era modern, keturunan Buay Semenguk dan Buay Silamayang masih memegang teguh adat istiadat. Upacara naik pepadun, pernikahan adat, hingga festival budaya Lampung tetap dijalankan. Bahasa Lampung dialek O dan A dipertahankan melalui pendidikan lokal. Identitas marga juga masih berfungsi sebagai penanda silsilah dan hubungan kekerabatan, terutama dalam pernikahan agar tidak melanggar aturan adat yang melarang perkawinan sedarah.
Kesimpulan
Kisah Buay Semenguk, Buay Silamayang, perang Minak Indah, dan pembentukan Pubian Telu Suku adalah potongan mozaik sejarah yang memperkaya identitas Lampung. Dari perlawanan, musyawarah, hingga persatuan, semua mengajarkan nilai penting: bahwa adat dan budaya adalah fondasi jati diri. Mengetahui sejarah ini membantu generasi muda mencintai tanah kelahiran dan menjaga kelestarian tradisi di tengah arus globalisasi.
Post a Comment for "Sejarah Buay Semenguk, Buay Silamayang, dan Pubian Telu Suku"