Miris! Korban Pemerkosaan di Lapas Kediri Belum Bisa BAB, Sering Muntah Usai Disiksa Sesama Napi
Dunia pemasyarakatan kembali diguncang kabar memilukan. Seorang tahanan titipan pengadilan di Lapas Kelas II A Kediri, Jawa Timur, berinisial AP, mengalami tindak pelecehan dan kekerasan sesama napi. Kuasa hukumnya menyatakan kondisi AP saat ini sangat memprihatinkan: korban belum bisa buang air besar, sering muntah setiap kali mencoba makan, dan mengalami trauma mendalam. Kasus ini tidak hanya menyisakan luka fisik, tetapi juga luka psikologis yang diperkirakan akan membekas lama.
![]() |
Miris! Korban Pemerkosaan di Lapas Kediri Belum Bisa BAB, Sering Muntah Usai Disiksa Sesama Napi |
Kronologi Kejadian
Menurut keterangan kuasa hukum, peristiwa kelam itu bermula pada Selasa dini hari, 12 Agustus 2025, sekitar pukul 02.00 WIB. Saat sebagian besar tahanan lain sedang terlelap, AP disodomi oleh sesama napi berinisial RM. Peristiwa ini terjadi di dalam blok tahanan tanpa ada yang mengetahui. Korban tidak kuasa melawan karena ancaman dan dominasi fisik dari pelaku.
Alih-alih berhenti, pada keesokan harinya, Rabu 13 Agustus 2025 dini hari, penderitaan AP berlanjut. RM tidak sendirian kali ini. Ia bersama rekannya, tahanan lain berinisial AD, memaksa AP masuk ke kamar mandi. Korban yang sudah menolak tetap dipaksa untuk menuruti kemauan bejat para pelaku.
Lebih parah lagi, AP dipaksa memakan benda-benda yang sama sekali tidak layak untuk dikonsumsi. Menurut kesaksian, benda-benda itu termasuk staples, cacing tanah, handbody, puntung rokok, bahkan ikan cupang hidup. Perlakuan sadis ini membuat kondisi korban semakin memburuk. Tidak hanya tubuhnya yang dilecehkan, harga dirinya juga diinjak-injak dengan hinaan dan perlakuan tak manusiawi.
Kondisi Korban Saat Ini
Hingga berita ini diturunkan, kondisi AP masih sangat lemah. Kuasa hukumnya menjelaskan bahwa korban sering muntah ketika mencoba makan, bahkan belum bisa buang air besar akibat trauma dan luka fisik di bagian tubuh tertentu. Rasa sakit yang ditanggungnya bukan hanya bersifat medis, tetapi juga psikis. Korban mengalami ketakutan luar biasa setiap kali berinteraksi dengan sesama napi.
Dari sisi medis, dokter yang menangani AP menyebutkan perlunya perawatan intensif, termasuk pemeriksaan lanjutan untuk mendeteksi kemungkinan adanya infeksi akibat benda asing yang dipaksa masuk ke tubuh korban. Sementara itu, dukungan psikologis juga sangat penting untuk membantu korban pulih dari trauma mendalam.
Respons Kuasa Hukum
Kuasa hukum AP menilai kasus ini sebagai alarm keras bagi sistem pemasyarakatan Indonesia. "Ini bukan sekadar kasus pelecehan, tetapi juga penyiksaan yang kejam. Korban diperlakukan tidak manusiawi, dipaksa menelan benda-benda berbahaya, hingga menderita luka serius," ujarnya.
Pihaknya juga mendesak agar kepolisian dan Kementerian Hukum dan HAM segera turun tangan. Ia meminta agar para pelaku segera diproses hukum dengan hukuman yang setimpal. Selain itu, ia juga menuntut pihak Lapas Kediri untuk bertanggung jawab atas lemahnya pengawasan yang membuat kejadian tragis ini bisa terjadi.
Pihak Lapas Angkat Bicara
Kepala Lapas Kelas II A Kediri, ketika dikonfirmasi, mengaku pihaknya telah menerima laporan terkait kasus ini. Pihak lapas menyatakan sudah melakukan pemeriksaan internal dan berjanji akan memberikan sanksi tegas kepada tahanan pelaku. Selain itu, pihak lapas juga bekerja sama dengan kepolisian setempat untuk mendalami kasus tersebut.
Namun, pengakuan ini belum cukup bagi keluarga korban dan kuasa hukum. Mereka menilai pihak lapas lalai dalam menjalankan fungsi pengawasan, sebab kasus kekerasan dan pelecehan seharusnya tidak bisa terjadi jika sistem pengamanan berjalan dengan baik.
Kondisi Pemasyarakatan di Indonesia
Kasus yang menimpa AP sebenarnya bukanlah hal baru di dunia pemasyarakatan Indonesia. Berbagai laporan dari lembaga independen menunjukkan bahwa masalah over kapasitas, lemahnya pengawasan, serta minimnya petugas menjadi penyebab utama rentannya kekerasan di dalam lapas.
Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, banyak lapas di Indonesia dihuni lebih dari dua kali lipat kapasitas seharusnya. Situasi ini membuat pengawasan tidak berjalan efektif, sehingga membuka celah terjadinya tindak kekerasan, perundungan, hingga pelecehan seksual antarnapi. Sayangnya, kasus-kasus seperti ini sering kali tidak terungkap ke publik karena korban merasa takut melapor.
Trauma Psikologis yang Berat
Dari sisi psikologi, apa yang dialami AP bukan hanya luka fisik, tetapi juga luka batin. Dipaksa melakukan dan mengalami hal-hal yang sangat tidak manusiawi bisa menyebabkan trauma jangka panjang. Korban berisiko mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD), depresi, hingga kehilangan kepercayaan diri.
Pakar psikologi forensik menyebutkan, pemulihan trauma seperti ini tidak cukup dengan waktu singkat. Diperlukan terapi intensif, dukungan keluarga, serta jaminan keamanan agar korban merasa aman dari ancaman pelaku. Tanpa itu semua, korban bisa saja terus hidup dalam ketakutan yang berlarut-larut.
Tuntutan Publik dan Pemerhati HAM
Kasus ini memicu kemarahan publik, terutama para pemerhati hak asasi manusia. Banyak yang menilai bahwa kejadian seperti ini menunjukkan kegagalan negara dalam memberikan perlindungan kepada tahanan. Padahal, meskipun seseorang berstatus sebagai narapidana, mereka tetap memiliki hak-hak dasar yang harus dijaga, termasuk hak atas keamanan dan perlakuan manusiawi.
Lembaga bantuan hukum dan organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah melakukan reformasi besar-besaran dalam sistem pemasyarakatan. Mereka menuntut adanya peningkatan jumlah petugas, perbaikan sistem pengawasan, serta mekanisme pengaduan yang aman bagi tahanan korban kekerasan.
Aspek Hukum Kasus Ini
Dari sisi hukum, tindakan yang dilakukan RM dan AD dapat dijerat dengan berbagai pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mulai dari tindak asusila, penyiksaan, hingga percobaan pembunuhan jika terbukti benda-benda berbahaya yang dipaksa masuk ke tubuh korban mengancam nyawanya.
Selain itu, aparat pemasyarakatan yang lalai dalam menjalankan tugas pengawasan juga bisa dikenakan sanksi administratif hingga pidana jika terbukti melakukan pembiaran. Hal ini penting untuk memastikan bahwa kasus serupa tidak terjadi lagi di masa depan.
Refleksi dan Harapan
Kasus tragis yang menimpa AP seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah dan masyarakat. Lapas bukan hanya tempat penghukuman, tetapi juga tempat pembinaan. Jika di dalamnya justru terjadi kekerasan dan pelecehan, maka fungsi pemasyarakatan telah gagal total.
Harapan terbesar adalah adanya reformasi nyata dalam sistem pemasyarakatan. Tidak hanya pada perbaikan infrastruktur, tetapi juga pada sistem pengawasan, pelatihan petugas, serta perlindungan hak-hak dasar tahanan. Dengan demikian, kasus-kasus kekerasan seperti yang dialami AP tidak lagi terulang.
Penutup
Kisah AP adalah potret kelam dunia pemasyarakatan Indonesia. Seorang tahanan yang seharusnya menjalani masa hukuman dengan pengawasan ketat justru menjadi korban kekerasan yang brutal. Luka fisik mungkin bisa sembuh, tetapi luka batin dan trauma mendalam akan sulit terhapus.
Kasus ini harus menjadi momentum bagi negara untuk membenahi sistem pemasyarakatan. Karena pada akhirnya, perlakuan kita terhadap para tahanan adalah cerminan dari sejauh mana nilai-nilai kemanusiaan dijunjung di negeri ini. Setiap tahanan, apapun kesalahannya, tetap berhak diperlakukan dengan manusiawi.
Post a Comment for "Miris! Korban Pemerkosaan di Lapas Kediri Belum Bisa BAB, Sering Muntah Usai Disiksa Sesama Napi"