Heboh! DPR Anggap RUU Perampasan Aset Disebut Tak Cocok di Indonesia , Koruptor Full Senyum ?
Jakarta, Navigasi.in – Pernyataan mengejutkan datang dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, yang menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset tidak termasuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Menurutnya, RUU tersebut dianggap “kurang cocok” untuk diterapkan di Indonesia. 
Pernyataan ini sontak memicu perdebatan panas di ruang publik. Banyak kalangan menilai penolakan atau penundaan pembahasan RUU ini dapat menghambat upaya negara dalam memerangi korupsi dan mengembalikan aset hasil tindak pidana kepada negara.
|  | 
| Heboh! DPR Anggap RUU Perampasan Aset Disebut Tak Cocok di Indonesia , Koruptor Full Senyum ? | 
Latar Belakang RUU Perampasan Aset
RUU Perampasan Aset adalah rancangan regulasi yang bertujuan untuk memberikan kewenangan kepada negara untuk menyita atau merampas aset hasil kejahatan, terutama korupsi, tanpa harus menunggu putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Konsep ini sering dikenal dengan istilah non-conviction based asset forfeiture. 
Dengan mekanisme ini, jika ditemukan aset yang diduga berasal dari hasil korupsi atau tindak pidana pencucian uang, negara dapat segera mengambil alih aset tersebut setelah melalui proses pengadilan perdata. Hal ini diharapkan mempercepat pemulihan kerugian negara, karena proses hukum pidana terhadap koruptor sering memakan waktu bertahun-tahun dan berbelit-belit.
Kenapa RUU Ini Dianggap Penting?
Indonesia selama ini menghadapi persoalan serius dalam pengembalian aset hasil korupsi. Data dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menunjukkan bahwa tingkat pemulihan aset masih jauh dari optimal. Banyak putusan pengadilan yang sudah inkracht tetapi aset yang berhasil dikembalikan ke kas negara hanya sebagian kecil.
Kasus-kasus besar seperti korupsi e-KTP, BLBI, hingga Jiwasraya menunjukkan betapa sulitnya negara mengeksekusi pengembalian aset. Bahkan dalam beberapa kasus, aset sudah dipindahkan, dijual, atau disamarkan sehingga sulit dilacak.
RUU Perampasan Aset dianggap sebagai salah satu “senjata pamungkas” untuk menutup celah hukum ini. Dengan adanya UU ini, negara bisa lebih cepat bertindak sebelum aset tersebut hilang atau dipindahtangankan.
Pernyataan Ahmad Doli: Tidak Cocok untuk Indonesia?
Dalam sebuah rapat kerja di DPR, Ahmad Doli menyampaikan bahwa RUU ini belum dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas 2025 karena dianggap kurang sesuai dengan sistem hukum di Indonesia. 
Ia menekankan bahwa ada kekhawatiran pelaksanaan RUU ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurutnya, jika perampasan aset bisa dilakukan tanpa putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap, ada risiko penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum.
“Prinsip due process of law harus tetap dijaga. Jangan sampai kita menciptakan undang-undang yang berpotensi menabrak hak-hak warga negara,” ujar Ahmad Doli.
Pro-Kontra di Publik
Pernyataan ini langsung menuai pro-kontra. Di media sosial, banyak warganet yang meluapkan kekecewaan dan kemarahan mereka. Tagar #SahkanRUUPerampasanAset bahkan sempat menjadi trending topic di X (Twitter). Banyak yang menilai penolakan DPR mencerminkan lemahnya komitmen pemberantasan korupsi.
“Kalau DPR menolak dan memperlambat pengesahan UU perampasan aset koruptor, maka DPR harus dibubarkan!!” tulis salah satu warganet dengan nada geram. 
Sebagian pakar hukum tata negara juga ikut bersuara. Menurut mereka, justru RUU ini seharusnya segera disahkan agar Indonesia dapat mengejar standar internasional. Banyak negara lain yang sudah menerapkan mekanisme perampasan aset tanpa menunggu putusan pidana, dan hasilnya cukup efektif menekan angka korupsi.
Risiko Jika RUU Tidak Disahkan
Jika RUU ini terus tertunda, maka Indonesia berpotensi mengalami kerugian yang lebih besar akibat kebocoran anggaran dan hilangnya aset hasil korupsi. Tanpa mekanisme hukum yang cepat, para pelaku korupsi akan memiliki waktu lebih banyak untuk menyembunyikan atau mengalihkan aset mereka.
Selain itu, citra Indonesia di mata internasional juga bisa menurun. Negara-negara mitra kerja sama internasional dalam pemberantasan kejahatan lintas negara, seperti PBB dan FATF (Financial Action Task Force), mendorong penerapan mekanisme asset recovery yang lebih progresif.
Desakan dari KPK dan Masyarakat Sipil
KPK telah berulang kali mendorong pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU ini. Menurut KPK, perampasan aset adalah kunci untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi. Jika aset yang dinikmati pelaku tidak bisa diambil kembali, maka hukuman penjara saja tidak cukup.
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti ICW (Indonesia Corruption Watch), juga mengkritik DPR karena dianggap mengabaikan aspirasi publik. Mereka menilai penundaan RUU ini menguntungkan para koruptor dan pihak-pihak yang selama ini menikmati hasil kejahatan.
Langkah Selanjutnya
Pemerintah masih memiliki peluang untuk mendorong agar RUU ini masuk dalam Prolegnas di periode berikutnya. Presiden dan Menteri Hukum dan HAM bisa mengusulkan kembali agar RUU Perampasan Aset menjadi prioritas, terutama jika tekanan publik semakin besar.
Sebagian pengamat menilai bahwa isu ini akan menjadi salah satu indikator komitmen pemerintahan terhadap agenda pemberantasan korupsi. Jika pemerintah serius, mereka perlu mengajak DPR duduk bersama untuk mencari titik temu dan mengatasi kekhawatiran terkait penyalahgunaan kewenangan.
Kesimpulan
Penolakan atau penundaan RUU Perampasan Aset adalah isu krusial yang tidak boleh diabaikan. Di satu sisi, ada kekhawatiran terkait perlindungan hak asasi dan prinsip hukum. Di sisi lain, urgensi untuk mempercepat pemulihan aset negara juga tidak bisa ditunda. 
Publik berharap DPR dan pemerintah segera menemukan solusi. Korupsi telah lama menjadi penyakit kronis di negeri ini, dan setiap upaya untuk menutup celah hukum seharusnya diapresiasi, bukan diperlambat.
Dengan semakin banyaknya desakan publik, bukan tidak mungkin isu ini akan menjadi sorotan besar pada tahun politik mendatang. Jika DPR terus dianggap menghambat pemberantasan korupsi, kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif bisa semakin merosot.
Apakah DPR akan mendengarkan suara rakyat? Ataukah RUU ini akan kembali menjadi “bola panas” yang digulirkan dari tahun ke tahun? Masyarakat tentu menunggu bukti nyata, bukan sekadar janji.
---
Post a Comment for "Heboh! DPR Anggap RUU Perampasan Aset Disebut Tak Cocok di Indonesia , Koruptor Full Senyum ?"