Youtube

Kula Alat Ukur Tradisional yang Menyimpan Sejarah Panjang Pertanian Lampung di Surakarta

Kula, Alat Ukur Tradisional Lampung yang Menyimpan Sejarah Panjang Pertanian di Surakarta

Navigasiin – Abung Surakarta — Di tengah arus modernisasi dan teknologi yang makin mendominasi kehidupan manusia, warisan budaya tradisional perlahan-lahan mulai terlupakan. Namun, di balik gegap gempita kemajuan zaman, masih ada jejak-jejak sejarah yang membisikkan kisah kehidupan masa lalu yang kaya nilai.


Kula, Alat Ukur Tradisional yang Menyimpan Sejarah Panjang Pertanian Lampung di Surakarta
Kula, Alat Ukur Tradisional yang Menyimpan Sejarah Panjang Pertanian Lampung di Surakarta


Salah satu peninggalan budaya tersebut adalah Kula, sebuah alat ukur tradisional yang pernah menjadi jantung kehidupan pertanian masyarakat Lampung di Surakarta.

Apa Itu Kula?

Kula bukanlah benda biasa. Meski bentuknya sederhana, menyerupai pot bunga atau baskom kayu, fungsi dan perannya dalam kehidupan masyarakat kala itu sangatlah penting. Kula adalah alat ukur berbahan kayu yang digunakan untuk menakar hasil pertanian seperti beras, padi, kopi, hingga lada — komoditas yang kala itu menjadi andalan ekonomi masyarakat Lampung di Surakarta.


Kula, Alat Ukur Tradisional yang Menyimpan Sejarah Panjang Pertanian Lampung di Surakarta
Kula, Alat Ukur Tradisional yang Menyimpan Sejarah Panjang Pertanian Lampung di Surakarta


Secara umum, satu buah Kula dapat menampung sekitar 2,5 kilogram beras. Namun, lebih dari sekadar satuan berat, Kula menjadi alat ukur informal yang digunakan secara turun-temurun untuk menentukan jumlah benih yang akan ditanam, hasil panen yang diperoleh, hingga transaksi jual beli di pasar tradisional.

Fungsi Sosial dan Ekonomi dalam Masyarakat

Keberadaan Kula tidak hanya penting dalam konteks teknis pertanian, tetapi juga memiliki peran sosial dan ekonomi yang luas. Pada zaman dahulu, ketika teknologi timbang-menimbang belum masuk ke pedesaan, satuan seperti Kula menjadi standar yang dipercaya oleh masyarakat. Misalnya, petani yang ingin menyewa lahan akan menggunakan ukuran Kula sebagai dasar kesepakatan — “Saya akan menanam satu ladang seluas sepuluh Kula benih,” begitu kira-kira kesepakatan yang terjadi.

Tak hanya untuk kebutuhan internal desa, Kula juga digunakan dalam interaksi dagang dengan wilayah lain. Dalam sistem ekonomi tradisional yang berbasis kepercayaan, penggunaan Kula menandakan adanya kesepahaman bersama tentang nilai dan ukuran — sesuatu yang kini telah tergantikan oleh angka-angka digital dan alat ukur modern.

Asal Usul Nama "Kula"

Menariknya, asal usul nama “Kula” memiliki cerita yang unik. Menurut beberapa sesepuh dan penggiat sejarah lokal, nama ini berasal dari sebutan orang luar, terutama pedagang asing atau pendatang dari daerah lain, yang menyebut alat tersebut sebagai "leteran". Dalam perkembangan bahasa, sebutan itu kemudian terserap dalam logat lokal dan berubah menjadi "Kula Liter". Kata "Liter" merujuk pada satuan volume, namun dalam praktiknya, Kula lebih mendekati fungsi timbangan daripada volume air.

Lama-kelamaan, kata "Liter" dihilangkan, dan masyarakat cukup menyebutnya sebagai “Kula”. Inilah yang menjadi menarik dari dinamika bahasa dalam budaya: satu istilah bisa berubah bentuk dan makna seiring dengan waktu dan pengaruh dari luar.

Dacin: Modernisasi yang Mengubah Sistem


Dacin Mato Itue
Dacin Mato Itue

Segala sesuatu mengalami perkembangan, termasuk sistem pengukuran. Kedatangan pedagang dari Tiongkok dan Belanda membawa serta alat timbang modern yang disebut Dacin. Dacin — atau dalam pengucapan lokal disebut Dacin Mato Itue — mulai dikenal dan perlahan menggantikan peran Kula dalam aktivitas ekonomi masyarakat.

Dacin, yang berbentuk seperti neraca gantung dengan anak timbangan logam, dianggap lebih presisi dan efisien dalam menimbang komoditas seperti lada dan kopi. Kehadiran alat ini merevolusi cara masyarakat memperlakukan hasil bumi. Tidak lagi berdasarkan estimasi atau kepercayaan sosial, tetapi berdasar pada angka pasti yang tidak bisa ditawar-tawar.

Namun, bagi sebagian kalangan, terutama pemerhati sejarah, budayawan, dan tokoh adat, Dacin tidak sepenuhnya menggantikan nilai-nilai yang terkandung dalam Kula. Alat kayu itu dianggap memiliki “roh” budaya — ia bukan sekadar alat, tetapi simbol dari zaman di mana ekonomi masih berakar kuat pada gotong royong dan nilai kekeluargaan.

Kula sebagai Warisan Budaya

Kini, hanya sedikit Kula yang masih tersisa. Sebagian besar telah rusak, dimakan usia, atau hilang terbawa zaman. Namun beberapa keluarga masih menyimpannya sebagai pusaka atau kenang-kenangan. Bahkan ada yang menjadikan Kula sebagai bagian dari dekorasi rumah — bukan untuk estetika semata, melainkan sebagai pengingat akan leluhur mereka yang hidup sederhana namun penuh makna.

Dalam pameran budaya, Kula juga kerap ditampilkan sebagai salah satu contoh kearifan lokal Lampung. Ia berdiri berdampingan dengan alat-alat tradisional lainnya seperti alu, lesung, dan lumbung padi. Dalam konteks ini, Kula tidak hanya menjadi benda mati, tetapi narasi hidup yang menghubungkan masa kini dengan masa lalu.

Kula dalam Pendidikan dan Kesadaran Sejarah

Sayangnya, banyak generasi muda yang tidak lagi mengenal apa itu Kula. Dalam pelajaran sejarah di sekolah pun, alat-alat seperti Kula jarang disebutkan. Padahal, pemahaman terhadap alat-alat tradisional sangat penting untuk membangun kesadaran sejarah dan menghargai kerja keras nenek moyang kita dalam membangun peradaban berbasis agraria.

Sejumlah komunitas budaya dan pemerhati sejarah kini mulai melakukan dokumentasi dan edukasi mengenai alat-alat tradisional, termasuk Kula. Melalui media sosial, pameran seni, bahkan video pendek di platform digital, Kula mulai diperkenalkan kembali kepada publik. Ini merupakan langkah penting dalam melestarikan warisan budaya yang nyaris hilang.

Makna Filosofis di Balik Kula

Lebih dari sekadar alat ukur, Kula menyimpan nilai filosofis yang dalam. Ia merepresentasikan keseimbangan antara kebutuhan dan kemampuan, antara produksi dan konsumsi. Ukurannya yang tidak terlalu besar menggambarkan kesederhanaan dan kecukupan — dua nilai yang mulai memudar dalam budaya konsumtif modern.

Kula juga mengajarkan tentang kepercayaan. Di masa lalu, tidak ada alat timbang digital. Nilai satu Kula benih ditentukan bersama, dengan rasa saling percaya antara petani dan pemilik lahan, antara pedagang dan pembeli. Inilah yang membuat transaksi terasa lebih manusiawi dan penuh ikatan emosional.

Penutup: Belajar dari Alat Sederhana

Kula, dengan bentuknya yang sederhana dan fungsi yang terbatas, ternyata menyimpan pelajaran hidup yang luar biasa. Ia adalah bukti bahwa masa lalu tidak kalah canggih dari masa kini — hanya saja bentuk kecanggihannya berbeda. Bukan dalam teknologi, tetapi dalam nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.

Di era digital ini, kita memang memerlukan kemajuan. Namun, bukan berarti kita harus melupakan akar budaya dan sejarah kita sendiri. Justru dengan mengenal alat seperti Kula, kita bisa lebih menghargai proses, lebih bijak dalam mengambil keputusan, dan lebih manusiawi dalam membangun hubungan sosial.

Semoga Kula tetap hidup — meski tidak lagi digunakan secara praktis, tetapi tetap hadir dalam ingatan kolektif kita sebagai bagian dari jati diri dan kebesaran budaya Lampung di tanah Surakarta.

Post a Comment for "Kula Alat Ukur Tradisional yang Menyimpan Sejarah Panjang Pertanian Lampung di Surakarta"