SERI LEXICON PIKIRAN EKONOMI-POLITIK, SOSIAL DAN BUDAYA SAMA-BAJAU SEMPORNA

Navigasi Info - Bismillahirrahmanirrahiim 'THE SEA GYPSY AS ENDANGERED PEOPLE ' : KISAH CINTA SAMAVUDDHI DAN LAUT DI HARI RAYA Bismillahirrahmanirrahiim 

SERI LEXICON PIKIRAN EKONOMI-POLITIK, SOSIAL DAN BUDAYA SAMA-BAJAU SEMPORNA
SERI LEXICON PIKIRAN EKONOMI-POLITIK, SOSIAL DAN BUDAYA SAMA-BAJAU SEMPORNA

Dilaporkan tidak kurang dari 3.000 orang dari kelompok Sama Buddhi di Filipina selatan ini telah berhasil dikristenkan oleh para misionaris dengan berbagai teknik seperti memberi uang, rumah, mesin tempel, peralatan memancing, pendidikan dan sebagainya. Situasi ini memang membahayakan masa depan semangat ‘DAKAUMAN A’A SAMA’ yang bisa retak karena perbedaan agama. Sementara itu, para misionaris Islam dan asosiasi LSM Islam di Sabah khususnya belum melakukan upaya yang konsisten untuk mengislamkan A'A SAMA BUDDHI ini. Para pejuang Muslim tidak berkomitmen untuk menarik dan membantu mereka agar tertarik kepada Islam.

Yang jelas di kalangan SAMA-BAJAU, branding dan seruan ‘pejoratif’ seperti PALA’UH, LUWA’AN, KALIAGGEH, LUTAOS, SAMMAL, MUNDUSIA ‘HALAM MAGUGAMA dan sebagainya membuat suku ini terus terpinggirkan meski butuh perlindungan. Baru-baru ini, seorang anak dari suku ini dijinakkan oleh keluarganya untuk meminta uang dari pengguna jalan di Lahad Datu hingga menjadi 'viral' karena anak itu memakai 'pistol mainan'. Sudah saatnya paradigma berpikir kita terhadap suku ini ditelaah kembali dan upaya membawa mereka kepada Islam adalah tugas semua pihak dan tidak hanya dipikul oleh instansi pemerintah saja.

“. paravis kadadhi yan uran didalanna bhami paravis hanun. SAMAVUDDHI lavan drohaka, manujari drohaka, niujari drohaka talu din drohaka. tida ya. Marppadah tida ya bhakti. tida yan tatvarjjawa diy aku. dngan diiyan nigalarku sanyasa datua. dhava vuathana uran inan nivunuh ya sumpah nisuruh tapik ya mulan parvvanda datu sriwijaya.”

Sebelum kedatangan bangsa Eropa, Sama-Bajau telah membangun kerajaan perdagangan maritim yang luas di kawasan timur Asia Tenggara berdasarkan sistem barter atau mata uang dari kerang dan keong laut.

Sama-Bajau memiliki hubungan dagang yang aktif dengan peradaban Cina yang merupakan pusat kekuatan dunia pada saat itu. Padahal, ratusan tahun sebelum era kolonial berlangsung, mayoritas A’A SAMA tinggal di pulau-pulau, garis pantai dan sebagian masih tinggal di perahu. Keadaan ini disebabkan oleh budaya dan cara hidup mereka yang akrab dengan laut dan selalu bermigrasi untuk mencari dan mengumpulkan hasil laut pada kedalaman yang sesuai.


Catatan awal 'penghuni perahu' diperoleh dari Ferdinand Magellan (1521) yang sedang berpetualang keliling dunia lewat laut. Dia telah berhenti di Pulau Saccol dan melihat sekelompok orang yang tinggal di perahu sebagai tempat tinggal mereka. Pulau ini masih didiami oleh salah satu sub suku Sama-Bajau yang merupakan warga negara Filipina, yaitu suku Samal.

Seratus tahun kemudian pada tahun 1667, Francisco Combes, seorang pegawai kolonial Sepanyol telah mencatatkan penemuannya di selatan Kepulauan Sulu. Beliau menulis :

“They are of this nature, that they know no other home than their boats...(and) are such enemies of the land, that it does not get from them the slightest labour or industry, nor the profit or any fruit. All of their work is in fishing and by this they barter for what they need....And as they put down very few roots, they move easily to other parts, having no fixed dwelling but thes sea; and this notwithstanding the fact that they knowledge certain settlements where they are gathered, with a few families in them, dispersed along the coves and low beaches, convenient for their fishing.

Francisco Combes menamakan kelompok Sama-Bajau ini sebagai “Lutaos” yang kemudian digunakan oleh masyarakat Suluk untuk menyebut orang tidak beradab dan hantu karena mereka hitam, gelap dan terisolasi dari kehidupan beradab. Selain itu, masyarakat Kepulauan Sulu juga menyebut orang Sama-Bajau dengan julukan ‘Luwa’an’, ‘Kaliaggeh’ dan ‘Sammal’ yang kesemuanya berkonotasi buruk dan merendahkan.

Di pantai timur Sabah, kehadiran orang Bajau pertama kali dicatat oleh Thomas Forrest (1780), seorang kapten angkatan laut Inggris yang sedang dalam perjalanan ke Papua Nugini untuk mencari daerah cengkeh yang tidak dikuasai Belanda. Dia menulis:

“The Badjoo people, called orang Badjoo, are a kind of itinerant fisherman, said to come originally from Johore, at the east entrance of the straits of Malacca. They live chiefly in small covered boats on the coast of Borneo and Celebes and adjacent islands…" (Thomas Forrest, 1780:372-74)

Kelompok Sama-Bajau serta suku-suku lain dalam rumpun Melayu yang tersebar di seluruh Nusantara tidak hanya memiliki ragam penutur bahasa yang luas, tetapi juga berperan aktif dalam kegiatan perdagangan maritim selama beberapa abad terakhir. Sama-Bajau adalah pemasok utama makanan laut, terutama 'tripang', ikan kering dan 'beche-de-mer' (Warren, 1971; Sather, 1997; Crawfurd, 1856: 283; Sopher, 1965: 241-249; Hunt, 1965)

Mengenai ‘tripang’, John Crawfurd - seorang ahli bedah dan ahli sejarah kolonial (1917:441) mengatakan:

“in quantity and value, ‘tripang’ is the most considerable of the exports of the Indian Islands to China”.

Bahkan sejak abad ke-17, hasil laut seperti sirip hiu, telur penyu, mutiara, tripang dan teripang (beche-de-mer) menjadi komoditas utama yang banyak dibutuhkan oleh orang Eropa, Cina, Kesultanan Sulu, Kesultanan Brunei. , Kesultanan Bulungan. , Berau, Kutai, Magindanao dan Bugis/Makassar.

Semua hasil laut dikumpulkan, dikumpulkan dan didistribusikan oleh Sama-Bajau. Dalam hal ini, orang Sulu dan Magindanao telah mencoba untuk menjalin hubungan lebih dekat dengan Sama-Bajau

karena seperti kata Francisco Combes (1904:108), “whoever has the most allies of this nation consider himself the most powerful...becoming the master of the straits and of the places necessaryfor the commerce of this islands.”

Di Kalimantan dan Celebes, Sama-Bajau telah menjadi pengumpul utama ‘tripang’ selama lebih 200 tahun (Sather,1997:14).

Kerana faktor-faktor inilah, Kem Pallesen (1985:249) pakar linguistik dan etnografi kenamaan menulis:

“The maritime skills of (the Sama) and the wide distribution of their settlements or ports of call would have given them an advantage in exploiting the growing trade opportunity in the centuries 1000 A.D.”

Penelitiannya juga menunjukkan teori bahwa bahasa yang digunakan oleh Sama-Bajau di seluruh wilayah Asia Tenggara telah muncul selama 1000 tahun terakhir dan menyebar ke seluruh pulau tempat ras pelaut ini tinggal.

Bahkan studi DNA oleh beberapa kelompok peneliti di Eropa menyimpulkan bahwa Sama-Bajau merupakan kelompok ketiga yang datang ke Kepulauan Filipina setelah Negtiro dan Aeta dan mengeksploitasi hasil laut di sana terutama di Palawan, Mindanao dan dan Luzon bagian selatan.

Berdasarkan kenyataan, diyakini bahwa kelompok Sama-Bajau yang ditemukan oleh para pengelana Eropa adalah Sama Buddhi’ atau Samavuddhi yang juga disebut Bajau Laut atau kadang disebut Pala’uh di kalangan Sama-Bajau sendiri.

Kelompok ini masih menganut cara hidup tradisional, memiliki hubungan yang sangat erat dengan alam, memiliki kesamaan cara hidup dan budaya dengan kelompok Veddoid pada masyarakat Proto Melayu di Semenanjung Malaysia yang terdiri dari Jakun, Semai, Negrito, Temiar, Kenak dan seterusnya.

Di kalangan ‘Masyarakat Perairan’, Sama Buddhi milik bersama dengan Orang Kuala, Urak Lawoi, Orang Moken, Orang Selung, Orang Seletar dan lain-lain yang memang menjadikan laut sebagai sumber kehidupan utama. Beberapa kelompok Sama-Bajau ini telah beradaptasi dengan kehidupan di darat dan menjadi masyarakat yang berorientasi pada ‘Masyarakat Pedalaman’. Ini termasuk orang-orang Jama Mapun, Jomo Samah, Iyakan dan lain-lain.

Namun asal usul dan kehidupan mereka awalnya sebagai pelancong laut. Suku Sama Buddhi' atau ejaan aslinya adalah SAMAVUDDHI atau Palau'uh, terutama yang ada di Kepulauan Tawi-Tawi, Samal, Zambales, Sibutu, Simunul dan Si Tangkay, hingga saat ini masih ada sebagian yang menganut kepercayaan Animisme, Pagan dan masih banyak lagi. tidak beragama sama sekali. Mereka masih tinggal di perahu sebagai tempat tinggal. Kelompok ini merupakan sub-suku Sama-Bajau yang paling sering bermigrasi dari Filipina selatan ke pantai timur Sabah dan sebagian berlayar ke Indonesia, terutama di Sangihe-Talaud, Sulawesi dan sepanjang pantai Kalimantan timur hingga Flores dan Darwin utara. , Australia.

Di Semporna, akibat gejolak politik di Filipina selatan dan perkembangan ekonomi yang tidak menentu, Sama Buddhi meninggalkan kampung halamannya dan berlayar ke pantai timur Sabah. Atraksi ekonomi dan keamanan yang terkendali menyebabkan banyak dari para migran ini.

Mereka dapat ditemukan di Sandakan, Lahad Datu, Kunak, Tungku, Tawau dan terutama di Semporna dan beberapa mencapai Kudat, Kota Belud, Kota Kinabalu dan Labuan. Kelompok ini telah mendapat pengakuan dari UNESCO, Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai warga dunia dan dapat berlayar dan berada di bagian manapun di kawasan Asia Tenggara untuk mencari kehidupan.

Mereka berlayar jauh dari kampung halaman mereka di Filipina selatan dan mencoba peruntungan di Malaysia dan Indonesia. Namun, kedatangan mereka di Sabah memiliki berbagai implikasi dan seringkali negatif dan tidak diakui di antara kelompok Sama Buddhi yang merupakan pendahulu mereka. Kemungkinan migrasi kelompok Sama Buddhi dari Filipina selatan erat kaitannya dengan suku sakat mereka yang lebih dulu merantau di Kg Bangau-Bangau, Labuan Hajji dan Samal-Samal tidak dapat disangkal.

kg Bangau misalnya, sudah ada sejak tahun 1940-an dan pemimpinnya sudah diakui seperti OT Pg. Tiring Bin Hawani, Salbangun Bin Salimbara, Umaldani bin Salimbara, Dessal bin Lakit Belle' dan Pg Tanjung Kiling Bin Pg Tiring. Orang-orang ini telah memeluk Islam, telah lama 'mualaf' dan banyak yang terlibat dalam urusan keagamaan seperti Ustaz Malaysia, Almarhum Ustd Aktor bn Binsalleh, Ust. Jenderal bin Binsalleh, Imam Morong, Hj Alka Muljarani, Khattib Jainaya bin Asakil dan Hj Waijar bin Hj. Cincin.

Kelompok Sama Buddhi di Kg Bangau-Bangau lebih terdidik dan terpapar perkembangan dan modernisasi ketika banyak dari mereka bekerja di departemen pemerintah dan swasta seperti Laiti Dessal, Gasuling Umaldani, Polores Rugo-Rugo, Alm. Aliriuh Rugo-Rugo dan masih banyak lagi.

Sedangkan kelompok Sama Buddhi baru yang merantau pada tahun 2000 sebagian besar masih menganut cara hidup tradisional dalam segala aspek; baik ekonomi maupun pemikiran. Banyak dari mereka tidak berpendidikan, tidak religius, kurang terpapar modernisasi dan pembangunan. Kehidupan mereka benar-benar tertinggal jauh dari arus pembangunan dengan pendapatan harian yang sangat rendah. Mereka masih mengelola bisnis dengan sistem barter.

Di Semporna, mereka selalu ditemui di pasar tamu dan banyak dari mereka adalah penghuni perahu dan berada di pulau-pulau seperti Maiga', Sibu'un, Kulapuan. Umaral, Rannawan, Mabbul dan beberapa menjadi penghuni sementara di kota terutama di dekat pusat pembuangan sampah. Kelompok ini adalah hasil dari perubahan zaman dan kebijakan Pemerintah melalui penegakan MMEA, Departemen Perikanan, Departemen Kelautan, Kepolisian Laut, Departemen Imigrasi, Departemen Bea Cukai dan instansi lain telah bermigrasi dan mengubah cara hidup mereka dari maritim ke budaya. yang semakin mengungkapkan tidak adanya peradaban dan kepemilikan agama mereka. Ini termasuk menjadi pengemis, mengendus lem, berpakaian tidak sopan, menjadi gelandangan dan sebagainya.

Mereka menjadi duri dalam daging; tidak hanya di Semporna tetapi hampir di seluruh pantai timur Kalimantan Utara; dari Sandakan ke Tawau. Ketika bulan Ramadhan dan Hari Raya Aidil Fitri tiba, mereka mengisi Bazar Ramadhan dan berbaris di luar masjid sementara umat Islam melakukan sholat Hari Raya karena ingin mendapatkan bantuan, sedekah, hadiah dan lain-lain. Kelompok ini (para pendatang Samavuddhi yang datang belakangan) selalu menjadi bahan dan bahan utama para pecinta kehidupan sederhana (BACK TO NATURE) khususnya fotografer, pelukis, novelis, penyair, pembuat film dokumenter dan National Geographic. Beberapa LSM seperti WWF dan THE HUGS juga memanfaatkan kesempatan ini untuk membantu mereka. Tak ketinggalan juga para misionaris Kristen yang mencoba menarik mereka ke dalam agama seperti yang terjadi di Kg. Pangi, Kunak ketika banyak dari sub-suku ini menjadi anggota gereja setiap hari Minggu.

Alhasil, muncullah stigma seolah-olah SUKU KAOS SAMA sudah ketinggalan zaman dan primitif! Namun nyatanya kehidupan Sama Buddhi angkatan pendatang baru ini sangat berbeda dengan kelompok Sama-Bajau lainnya seperti Sama Kuvang, Sama Ubian, Sama Tabawan dan lain-lain terutama dalam hal agama, pendidikan, status sosial dan ekonomi.

Citra negatif yang sering ditampilkan di media massa ini juga seolah-olah semua SAMA-BAJAU serupa
Citra negatif yang sering ditampilkan di media massa ini juga seolah-olah semua SAMA-BAJAU serupa


Citra negatif yang sering ditampilkan di media massa ini juga seolah-olah semua SAMA-BAJAU serupa dimanapun mereka berada di kawasan Asia Tenggara. Ini tidak benar. Namun, upaya mengkristenkan 'masyarakat adat' harus ditentang, ditolak dan dihalangi karena efeknya sangat buruk. Dilaporkan tidak kurang dari 3.000 orang dari kelompok Sama Buddhi di Filipina selatan ini telah berhasil dikristenkan oleh para misionaris dengan berbagai teknik seperti memberi uang, rumah, mesin tempel, peralatan memancing, pendidikan dan sebagainya. Situasi ini memang membahayakan masa depan semangat ‘DAKAUMAN A’A SAMA’ yang bisa retak karena perbedaan agama.

Sementara itu, misionaris Islam dan LSM Islam di Sabah khususnya belum melakukan upaya yang konsisten untuk mengislamkan A'A SAMA BUDDHI ini. Para pejuang Muslim tidak berkomitmen untuk menarik dan membantu mereka agar tertarik kepada Islam.

Yang jelas di kalangan SAMA-BAJAU, branding dan seruan ‘pejoratif’ seperti PALA’UH, LUWA’AN, KALIAGGEH, LUTAOS, SAMMAL, MUNDUSIA ‘HALAM MAGUGAMA dan sebagainya membuat suku ini terus terpinggirkan meski butuh perlindungan. Baru-baru ini, seorang anak dari suku ini dijinakkan oleh keluarganya untuk meminta uang dari pengguna jalan di Lahad Datu hingga menjadi 'viral' karena anak itu memakai 'pistol mainan'.

Sudah saatnya paradigma berpikir kita terhadap suku ini ditelaah kembali dan upaya membawa mereka kepada Islam adalah tugas semua pihak dan tidak hanya dipikul oleh instansi pemerintah saja.

Salam Hailaya Aidil Fitri Maaf Zahir dan Batin 7 Mei 2022M / 5 Syawal 1443H
navigasiin
navigasiin navigasiin adalah portal Situs Berita Berbahasa Indonesia yang menyajikan berita terkini terpercaya sebagai petunjuk inspirasi anda

Posting Komentar untuk "SERI LEXICON PIKIRAN EKONOMI-POLITIK, SOSIAL DAN BUDAYA SAMA-BAJAU SEMPORNA"